John Donahoe adalah CEO yang mampu mendongkrak margin keuntungan Nike disaat banyak perusahaan merugi gara-gara pandemi. Pendapatan Nike di tahun 2022 mencapai 750 triliun rupiah. Di tengahah kekacauan global, itu adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Namun pada Oktober 2024 ini dia dilengserkan dan diganti CEO baru Bernama Elliott Hill. Donahoe dinilai para investor dan dewa direksi telah melakukan serangkaian kesalahan yang membuat Nike saat ini harus bertekuk lutut di hadapan para pesaingnya. Ternyata, apa yang dulu terbukti berhasil justru jadi blunder di era persaingan baru pasca pandemi. Apa saja dosa Donahoe? Kenapa bisa begitu? Apa pelajaran penting yang bisa kita petik? Yuk, kita cari tahu.
Daftar isi
Bagian I | Bukan Sekedar Sepatu
Di era 1980 an. Nikey telah
melampaui fungsinya. Nike lebih daripada sekedar sepasang sepatu karena dia
sudah menjadi elemen penting sebuah life style.
Dia sudah menjadi icon budaya
global, positioning itu berhasil diraih setelah Nike bekerja sama dengan
pebasket ulung Michael Jordan dan memuncurkan R. Jodan.
Sejak itulah Nike bertranformasi
dari sepatu basket menjadi sebuah simbol mode kekinian dengan slogan Just a do
I, Positioning Nike terus menguat. Sebagai brand yang inspiratif, dia
menginspirasi kalangan muda untuk memupuk dan menumbuhkan semangat keberanian.
Reputasi Nike terus merangkak naik sampai ke era milenium. Sebab dibawah
kepeminan Mark Parker. Sejak tahun 2006
Nike terus-menerus berinovasi dengan teknologi untuk melahirkan model-model
baru, seperti Flite dan juga Nike Plus. Mereka berkolaborasi dengan para desainer
dan para selebriti ternama. Semua itu telah mengantarkan Nike ke ranah gaya
hidup.
Mereka sukses menggabungkan dunia
olahraga, teknologi, dan mode sekaligus dalam sepasang sepatu inovatif. Padahal
awalnya nanya benar-benar hanya sepatu olahraga, berawal ketika pada tahun 1964
Phil Knight dan Bill Bowerman ingin menjual sepatu Jepang di Amerika.
Sesederhana itu niat dan tujuan mereka. Lalu pada tahun 1971, mereka
menciptakan brand sendiri, yaitu Nike lengkap dengan logo sus yang kini sangat ikonik.
Beberapa tahun kemudian Nike berhasil memanfaatkan teknologi R yang
revolusioner. Sejak itulah Nike menjadi brand paling awal sebagai sepatu khusus
lari.
Bagian II | Sukses Di Tengah Pandemi
Setelah lebih dari satu dekade
memimpin, pada tahun 2019 Mark Parker mengundurkan diri sebagai CEO Nike dan
menempati posisi charman eksekutif. Dewan direksi kemudian memilih seorang ahli
teknologi yang berpengalaman kerja di EB dan juga service now. Dialah John
Donnahoe yang dianggap paling tepat untuk bisa membawa Nike ke era baru, yaitu
era digital. Baru aja Donahoe duduk di singgasananya. Tiba-tiba pandemi covid-19
datang menghantam, merusak, dan mengubah dunia. Donhoe langsung dihadapkan pada
situasi rumit dan serba susah. Rantai pasokan terganggu, toko-toko tutup, dan
industri ritel global terpukul. Nike tergelincir ke tebing jurang krisis yang
belum pernah dialami sebelumnya.
Meskipun terkejut, namun Donhoe
tidak panik. Dia langsung membuat terobosan-terobosan. Meskipun situasi bisnis
pada saat itu serba tidak pasti. Donahoe memutus hubungan Nike dengan sebagian
besar pengecer, termasuk dengan Amazon. Lalu dia memanfaatkan situs web dan
aplikasi Nike untuk melakukan penjualan langsung.
Beberapa pihak menganggap
langkahnya sangat berani dan berisiko besar, tetapi dia tidak peduli. Donhoe
yakin bahwa cara dan langkahnya akan efektif menciptakan brand Nike yang
eksklusif, inovatif, dan distingtif. Keyakinan Donahoe terbukti benar. Strategi
digital dinilai tepat dalam menyiasati situasi pandemi. Penjualan langsung
kepada konsumen meningkat pesat. Produk-produk ikonik seperti Nike pandadang
tumbuh menjadi primadona. Ketika dunia masih dilanda krisis dan banyak
perusahaan merugi, margin keuntungan Nike justru meningkat berdapatannya di
tahun 2022, bisa mencapai 50 milyar dollar. WOW. Di tengah kekacauan global itu
adalah sebuah prestasi yang luar biasa.
Donahoe telah membuktikan bahwa
pilihan dewan direksi pada dirinya benar-benar tepat. Dia sukses menahkodai
Nike melampaui terpaan gelombang besar pandemi covid-19. Portrfolio leadership
dan visinya dalam mentransformasi Nike terbukti relevan dengan kebutuhan Nike
di tengah pandemi.
Bagian III | Blunder Strategi Donahoe
Sejarah mengajarkan kita bahwa
kejayaan seseorang ada masanya dan begitu pula dengan Donahoe. Setelah pandemi
berlalu, strategi Donahoe mulai menghadapi tantangan berat. Keberaniannya
memutus kerjasa dengan pengecer besar seperti foot locker misalnya, mulai
dipertanyakan efektivitasnya. Sewaktu pademi selesai, kebiasaan belanja
konsumen telah kembali normal, tetapi Nike sudah tidak ada di rak-rak food
loker. Rak-rak itu udah diisi produk-pduk pesaing seperti New Balance. Hoka,
dan Puang. Nah, kita kehilangan ruang jualannya di toko-toko pengecer. Tidak
heran jika pada tahun 2022, kontribusi Nike terhadap penjualan food locker
anjlok jadi kurang dari 60%.
Tidak hanya itu, Nike juga
kehilangan hubungannya dengan para test maker yang dulu membantu membentuk
citra eksklusifnya. Toko-toko boutique sudah berpaling ke brand-brand lain.
Padahal dulu toko-toko itulah yang menjadi rumah produk-produk Hype Nike.
Sejak itulah aura eksklusivitas
Nike secara perlahan memudar. Apalagi produk-produk Nike juga mulai kehilangan
sentuhan inovasinya dan membuatnya kehilangan pesona. Gara-garanya Nike terlalu
fokus pada produk bersegmen lifestyle, seperti Pandajang yang dianggap
berlebihan dan overrated. Sementara produk-produk andalan seperti Pegasus dan
Airvos Satune juga mulai kehilangan popularitasnya. Ketika Nike meluncurkan
RMAX, pasar merespon negatif. Padahal adidas and Running, dan Hoka mendapat
sambutan hangat karena inovasi-inovasinya. Jadi. Nike memang berhasil
meningkatkan efisiensi internal. Tapi mereka ternyata sulit bersaing karena
konsumen tidak lagi melihat inovasi dari Nike.
Kelambanan Nike berinovasi
menurut beberapa pihak merupakan akibat diterapkannya remote working yang
dilakukan oleh Donahoe. Walaupun anggapan itu dibantah oleh karyawan Niike
sendiri di lebron James Inovation Center, sebab mereka sudah kembali kerja
penuh waktu.
Bagian IV | Daftar Kesalahan Donahoe
Lalu apa sih yang membuat inovasi
Nike jadi lambat? Beberapa pihak menyebut bahwa penyebabnya adalah pandangan Donahoe
yang tidak sesuai dengan realitas lapangan. Ini menimbulkan masalah-masalah
internal, diantaranya masalah perlakukan terhadap karyawan perempuan di tahun 2028
yang diungkit-ungkit kembali.
Meskipun naiknya berjanji akan
menyelesaikan masalah tersebut. Sayangnya, tetap saja banyak pihak yang merasa
bahwa masalah itu belum tuntas. Isu ini terus bergulir menghantui suasana kerja
yang membuat kreativitas pegawai tersumbat dan inovasi jadi mandek. Suasana
muram yang melanda Niike membuat mantan eksektif Ma Masara Niike. Massimo Giunco
pada tahun 2023 lalu secara terbuka mengkritik kepemimpinan Donahoe. Dia
mengatakan, “Donahoe terlalu bergantung pada data dan mengorbankan jiwa budaya
Niike yang begitu kuat.”
Donahoe juga dinilai bersalah
ketika menghapus kategori produk tradisional, termasuk suatu lari dan basket,
serta memutus hubungan Niike dengan komunitas olahraga. Tindakan itu membuat
banyak de desagner merasa tidak dihargai lagi sehingga mereka pun akhirnya hengkang.
Nike kehilangan banyak talenta terbaik untuk menghasilkan inovasi.
Donahoe telah membawa NIIKE
bergantung pada strategi pemasaran digital yang lebih tersegmentasi dan
berbasis algoritma. Tidak ada lagi kampanye-kampanye besar dengan sentuhan
emosi dan inspirasi. Nggak ada lagi iklan-iklan seperti Failer dengan Michael
Jordan yang mengajarkan tentang kegagalan.
Juga tidak ada lagi kabar Fine Yo
Gtness yang menyemangati atlet biasa untuk bisa melampaui batas. Sekarang,
mereka lebih sering membuat konten-konten di media sosial untuk menyasar
pasar-pasar kecil. Tujuannya supaya bisa menarik lebih banyak pengunjung ke
situs web Nike. Mereka memang berhasil menarik pengunjung ke platform
digitalnya. Namun, mereka kesulitan mengubah para pengunjung web menjadi
pelanggan loyal. Donahoe dianggap telah melakukan blunder. Sebab, cara-cara itu
justru mereduksi kekuatan utama Nike selama ini, yaitu story telling yang
menyentuh hati. Hubungan emosional itulah yang menjadi kekuatan Nike.
Sedangkan konten-konten digital
yang fokus pada algoritma tidak mampu menyentuh emosi konsumen. Apalagi
kemudian permintaan terhadap produk gaya hidup Nike terus menurun, terutama di
Eropa dan China. Produk Pandadang yang sebelumnya jadi hits enggak lagi
diminati. Bahkan harga Pandajang di pasar sekunder turun diba harga ritail itu
adalah indikasi bahwa popularitasnya telah anjlok.
Memasuki bulan Juni 2024, situasi
semakin memburuk. Penjualan sepatu segmen Lifestyle dilaporkan turun untuk
pertama kalinya. Pasar saham langsung berteriak dan nilai saham menaiki anjlok 20%
dalam satu hari atau mereduksi 28 miliar kapitalisasi pasar Nike. Situasi itu
membuat para analis dan investor meragukan kepemimpinan John Donewo, meskipun
sebetulnya dia telah berusaha mengatasi krisis seperti memangkas kost
perusahaan dan juga mengumkan penghematan 2 miliar US Dollar.
Termasuk me-mphk dua persen
tenaga kerja Nike di seluruh dunia. Sayangnya, situasinya bukan jadi lebih
baik. Rencana tersebut justru menyulut kemarahan para pegawai. Mereka merasa
perusahaan sudah kehilangan arah. Donahoe dianggap lebih sibuk memotong-motong
biaya dan tidak berinovasi. Apalagi kemudian beredar video lama yang berisi
wawancara Donahoe. Disitu dia mengatakan. Saya sudah memecat banyak orang. Saya
tidak akan terlibat dalam emosi mereka.
Para karyawan semakin kecewa mereka
merasa Nike sudah tidak lagi memperdulikan mereka. Nike hanya mementingkan
keuntungan perusahaan. Situasi itu mengundang keprihatinan Alex Ropes. Dia
adalah CEO komunitas fashion dan Sretuware The Basement yang pernah bekerja
sama dengan Nike pada sneakers di tahun 2017 dan 2019. Dia mengatakan, “Saya
terkejut melihat seberapa besar kerusakan yang terjadi dalam waktu singkat.”
Situasi memuncak di September
lalu, para investor dan karyawan mendesak dewan direksi untuk menindak Donahoe.
Apalagi sebelumnya di bulan Juni 2024, dewan sendiri sudah mempertanyakan arah
strategi Donahoe yang fokus pada pemasaran digital dan direct to customer. Di
tengah situasi penuh tekanan itulah akhirnya Donahoe mengumumkan penguduran
dirinya sebagai CEO Nike.
Bagian V | Tantangan Elliot Hill
Nike langsung bergerak cepat pada
Oktober 2024. Mereka menunjuk Elliot Hill sebagai CEO baru. Ellioth itu bukan
orang baru di Nike. Dia udah merintis karir Dinaki sejak tahun seribu sembilan
ratus delapan puluh delapan. Sebagai karyawan MAGA, dia pernah memimpin operasi
global di wilayah Eropa. Timur Tengah, dan juga Afrika. Hill juga membantu
memperkuat strategi ritail dan digital ketika pada tahun 2018 dia memimpin
divisi konsumen dan pasar Nike. Pengalaman panjang membuat Hill paham betul
pasar dan budaya perusahaan. Saya juga dinilai berbeda dari John dan Hong yang
terlalu fokus pada teknologi dan kurang memahami jiwa Nike. Menariknya. Hill
sebenarnya adalah kandidat kuat CEO sebelum akhirnya Don yang dipilih. Saat
itu. Donahoe yang berlatar belakang bidang teknoologi dan e-comers dianggap
lebih tepat untuk mempercepat transformasi digital perusahaan.
Kini Nike berharap banyak pada hill,
dia diharapkan mampu menyuguhkan kembali inovasi, juga bisa memperbaiki kembali
hubungan dengan pengecer besar, serta mengembalikan posisi Nike sebagai pemain
penting dalam industri olahraga.
Kemunculan Hill sontak disambut
pasar dari pandang. Sanggup membawa Niki meraih kembali kejayaannya, Nike akan
kembali fokus pada inovasi produk dan memperbaiki hubungan dengan pengecer.
Harga sahamnya langsung melonjak 10%. Itu pertanda kepercayaan investor sudah
mulai pulih kembali. Salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi Hiel
adalah memperbaiki hubungan dengan pengecer, seperti food locker. Yell harus
segera merancang strategi baru untuk membangun kembali aliansi strategis dan
memastikan bahwa Nike bisa kembali mendominasi ruang-ruang retail. Sebab, ruang
retail tetap penting untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang perusahaan.
Hill juga harus mengembalikan fokus Nike pada inovasi produk, terutama di
segmen suatu olahraga sebagai kekuatannya.
Hill perlu memastikan bahwa Nike
bisa kembali menjadi brand inovatif, bisa kembali menghadapi pesaing seperti On
Running dan Hoka yang telah mengambil alih pangsa pasar dengan teknologi terbaru.
Tidak hanya sampai disitu. Hill juga harus memulihkan kembali semangat pegawai
yang sempat menurun, Ia harus bisa membangun kepercayaan mereka melalui
komunikasi yang jelas dan tindakan yang nyata untuk memperkuat kembali budaya
kerja perusahaan.
Bagian VI | Tiga Pelajaran Penting
Setidaknya ada tiga pelajaran
penting yang bisa kita petik dari kisah Nike ini :
Pertama, setiap masa ada
strateginya. Strategi yang Donahoe terapkan pada saat pandemi memang berhasil.
Tapi begitu dunia mulai pulih, strategi yang sama malah jadi bumerang, Nike ke
kehilangan jejak di rak-rak pengecer besar, dan juga hubungan dengan komunitas
yang telah membantu membangun brand Nike. Ini mengajarkan kita bahwa timing dan
konteks sangat krusial dalam menyusun strategi bisnis.
Kedua, seimbangan algoritma
dengan penting. Fokus Donahoe pada algoritma dan segmentasi pasar memang bikin
penjualan langsung naik, tapi sekaligus menggerus hubungan emosional yang naik
dibangun selama ini. Bagi para pemimpin bisnis ini pengingat kuat, meski
teknologi bisa membantu kita menjangkau lebih banyak orang dengan lebih cepat,
tapi human connection tidak akan pernah bisa digantikan oleh mesin.
Ketiga, selalu berpegang pada
nilai intibrant. Donahoe mungkin berpikir strategi digital evisien adalah
jawaban untuk segalanya. Tapi dia lupa bahwa Niike dibangun tidak hanya di atas
sepatu yang bagus, tetapi juga cerita yang bermakna dalam dan juga menyentuh
hati. Cerita-cerita yang menginspirasi seperti layaknya find you brightness itu
harusnya tetap jadi nyawa dari brand Nike dan juga dari brand anda.
Di lautan industri yang terus
berubah dengan obat persaingan dan konsumen yang semakin dinamis, kita nggak boleh
lelah. Strategi yang berhasil kemarin mungkin sudah usang hari ini dan apalagi
besok mari kita terus mengasah kemampuan kita untuk mengamati, menyesuaikan,
dan berinovasi. Jangan biarkan gelombang perubahan menjauhkan kita dari puncak
kejayaan. Tetaplah peka dan proaktif dalam menavigasi arus pasar yang tak
pernah lelah mengejutkan kita.