Ada Apa Dengan Sritex

 


Presiden Prabowo mengikstruksikan Kementerian Perindustrian. Keuangan BUMN, dan Tenaga Kerja untuk mencari solusi dalam menyelamatkan Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu dari kebangkrutan. Tapi pertanyaannya, apakah niat baik itu tepat? Dampak pailitnya Sritex memang bisa berujung pada PHK massal dari karyawan yang pernah mencapai 50000 itu jelas nggak kita inginkan. Tapi bagaimana jika masalah yang dialami Sri Tex itu sebenarnya akibat kelalaian manajemen perusahaan itu sendiri? Nah, kalau setiap kali ada perusahaan besar bermasalah, lalu selalu di bail out oleh pemerintah, itu kan nggak akan memberikan efek jerak. Yuk, kita lihat apa yang sebenarnya terjadi, apa saja opsi-opsi penyelamannya, dan Anda silahkan putuskan sendiri. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi kasus Sritex ini.


Bagian I | Ada Apa Dengan Sritex

Sejak tahun 2021 Sritex sudah merugi 1,08 miliar US dollar atau sekitar 15,66 triliun rupiah. Penjualan Sritex jatuh hingga 33,93%. Padahal beban produksi dan operasional terus meningkat. Kondisi jadi semakin buruk sewaktu Busa Efek Indonesia men-suspend saham Sritex. Karena kondisi keuangan yang semakin memburuk dan adanya ancaman delistik, bisnis Ritex terus dilingkupi awan gelap yang berujung pada gugatan palit di tahun 2022

Untungnya waktu itu Sritex bisa berdamai dengan para krediturnya melalui proses PKPU. Dengan kesepakatan itu Sritex mempunyai kesempatan untuk merestrukturisasi utang sebesar 20 triliun rupiah. Malamnya Sritex tetap kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran yang telah disepakati. Hingga pada tahun 2023, jumlah liabilitas perusahaan membengkak sampai 1,6 miliar US dollar atau 24,4 triliun rupiah. Itu membuat ekuitas Sritek berada di posisi negatif. Di tahun yang sama. Sritex mem phk 3000 karyawan setelah di tahunun-tahun sebelumnya rutin melakukan PHK hingga tersisa 10000 karyawan saja dari yang sebelumnya mencapai 50.000, di tahun 2018.

Akhirnya pada 24 Agustus 2024 PT Indo Barat Rayon, salah satu kretur Sritex mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian atas kesepakatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU terhadap Sritek. Pengadilan Negeri Niaga Semarang mengabulkan dan menyatakan Sritek resmi Pailit.

Kejadian itu bikin heboh industri dan menarik perhatian Presiden Prabowo Subianto. Beliau melihat dampak besar yang muncul kalau sampai ribuan pekerja Sritex di PHK bukan hanya urusan soal ekonomi yang goyah, melainkan juga stabilitas nasional bisa terganggu. Presiden lalu menginstruksikan Kementerian Perindutrian Keuangan. BNUMN dan Tenaga Kerja untuk mencari solusinya. Apa sih sebenarnya yang menyebabkan Sritek mengalami masalah keuangan yang begitu parah? Sebelum kita jawab pertanyaan itu, yuk kita simak dulu bagaimana Sritek bisa jadi perusahaan tekstil terbesar di Asia tenggara.

 

Bagian II | Kebangkitan Bisnis Sritex

Sejak kecil jalan hidup H.M. Lukminto sudah penuh likaliku. Pria turunan Tionghoa kelahiran Kertosono. Nganjuk, pada tanggal 1 Juni 1940 itu pernah putus sekolah. Waktu itu dia baru duduk di kelas 2 SMA Chonghua Cheong Hui. Ada masalah budaya di zaman itu yang membuat Lukminto terpaksa berhenti di sekolah. Namun, kegagalan itu tidak membuat Lukminto patah arang. Dia langsung bergerak mengikuti jejak kakaknya. Emilia, berjualan di Pasar Clewer. Solo. Di umur 20 tahun. Lukminto sudah merintis bisnis tekstil. Berbekal uang 100.000 pemberian orang tuanya, dia membeli kain belacu di Semarang dan Bandung. Kemudian dijual di Pasar Klewer dan Pasar Kliwon atau dijajakan ke pabrik-pabrik batik rumahan.

Kerja keras dan ketekunannya membuat Lukminto membuat mampu membeli dua kios di Pasar Clewer dan di tahun 1972 berhasil mendirikan pabrik tekstil di Semannggi Solo. Dari situ bisnisnya terus berkembang hingga di tahun 1982 Luminto mendirikan PT Sri Rejeki Isman atau PT Sritex dengan pabrik seluas 10 hektar di Desa Jetis, sukoharjo.

Pada tanggal 3 Maret 1992, pabrik Sritex diresmikan Presiden Soeharto. Sejak itulah Sritex diminta pasok seragam militer, Seragam instansi pemerintah, termasuk seragam batik KORPRI dan Golkar itu membuat Sritek moncer di jaman Ode Baru. Mereka kokoh dan mendominasi industri tektil dalam negeri. Lukminto kemudian mengincar pasar global, terutama Eropa. Awalnya Sritech sukses memasok seraga militer Jerman. Dari situ, mereka kemudian dipercaya untuk masukk serga militer berbagai negara, seperti Austria, Swedia, Belanda, Kroasia, dan juga Arab Saudi. Berikutnya Sriteks dipercaya memproduksi seragam pasukan NATO. Dengan begitu, di masa-masa itu, sekitar 50% produk Sritex adalah seragam militer.

Sritex juga berhasil memikat industri fashion. Brand-brand fashion global ternama seperti unicolozara. JEC. PA ini, dan Timberland meminta Sritex memasok bahan tekstil bagi mereka. Ini membuat Sri Tex terdorong untuk menambah kapasitas produksi dengan memperluas pabrik di Sukoharjo pada tahun 1992. Dengan perluasan itu sekaligus Seritek menggarap 4 lini produksi utama, yaitu pemintalan, penurunan, penyelesaian, dan juga garment. Pada 7 Juni 2013, ritek melantai di Bursa Efek Indonesia. Saham perdana mereka yang berharga 240 rupiah per lembar melonjak jadi 497 rupiah per lembarnya atau naik 107% hanya 2 tahun kemudian.

Di tahun-tahun itu performa Financial Sritex memang mengesankan. Mereka berhasil meraih laba bersih 67 juta US dollar atau sekitar 936 miliar rupiah pada tahun 2017. Di tahun yang sama Sritex menginvestasikan dana 2,6 triliun rupiah untuk ekspansi dalam rangka memenuhi permintaan lebih dari 30 negara, termasuk 8 negara Eropa. Setahun kemudian, laba bersih mereka membengkak jadi 84,56 juta US dollar dan terus bertambah di tahun 2019 menjadi 87 juta US dollar. Nah, dengan segala kehebatan itu, lalu apa yang membuat Sritex jatuh.

Bagian III | Kenapa Sritex Jatuh

Bisnis Sritex mulai tertekan saat pandemi covid-19 dimulai di tahun 2020 meskipun masih mampu meraup laba 85,5 juta US Dollar. Rantai pasukan global yang terganggu akibat global lock down langsung menghantam Sritex. Apalagi permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri juga menurun secara drastis. Iwan Kurniwan Lukminto. Direktur Siteks, mengatakan bahwa penurunan permintaan produk mereka terjadi akibat berubahnya gaya hidup masyarakat. Orang-orang tidak lagi membutuhkan banyak pakaian formal, apalagi seragam. Sebab, kebanyakan mereka sudah mengikuti tren bekerja dari rumah.

Selain terdampak pandemi, perusahaan tekstil kita juga terkena dampak konflik geopolitik saat ini yang mengakibatkan pasar ekspor global jadi lesu. Seperti pasar Eropa yang terguncang oleh perang Rusia vs Ukraina. Prioritas konsumsi warga Eropa sudah bergeser dari produk testil ke kebutuhan yang lebih pokok seperti energi misalnya. Dalam kondisi seperti itu, seharusnya kita bisa berharap pada pasar dalam negeri mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat-sangat besar. Namun apa daya, iklim bisnis tekstil nasional saat ini juga tidak kondusif.

Perusahaan tekstil kita terpukul oleh produk impor murah yang membanjiri pasar dalam negeri. Para pedagang lebih memilih untuk mengambil barang impor karena harga jual yang lebih murah dari produk lokal, bahkan hingga 50%. Karena itulah, permintaan akan teksti lokal di dalam negeri terjun bebas. Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan menyebut bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor delapan Tahun dua ribu dua puluh empat tentang Kebijakan dan Pengaturan IMP jadi penyebab munculnya kondisi ini. Revisi itu telah menghapuskan pertimbangan teknis atau pratect dari Kementerian Perindustrian. Padahal, pratect itulah yang menahan masuknya produk impor dengan mudah. Setelah protect ditiadakan, otomatis produk impor bisa masuk dengan leluasa. Industri testil dan produk testil dalam negeri satu persatu pun mulai memangkas, bahkan menghentikan sebagian atau seluruh unit produksinya.

CNBC Indonesia melaporkan bahwa hingga November 2024 ini sudah ada 30 perusahaan tekstil yang bangkrut.

Memang kondisi pasar tekstil saat ini baik di dalam negeri maupun global membuat para pelaku industri texstil jadi tertekan. Tapi apakah masalahnya memang sepenuhnya datang dari luar perusahaan.

Bagian IV | Menebus Dosa Sritex

Menteri Ketenagakerjaan RI Yassierli menilai penyebab utama Sritex pailit bukan karena serbuan baju impor, tetapi justru karena kelalaian manajemen dalam memitigasi risiko, khususnya dalam mengelola hutang Sritex yang semakin menggunung. Saat melakukan rapat kerja dengan Komisi sembilan DPR RI pada ketiga puluh Oktober 2024, ya Yassierli mengatakan. Kalau saya membacanya adalah ini kelalaian pihak manajemen dalam memitigasi risiko. Jadi lengah seolah-olah ini masalah kecil, tapi ternyata kemudian bisa berdampak fatal. Yassierli merujuk pada satu kreditur yang memiliki piutang relatif kecil, hanya 100 millir rupiah, jauh di bawah kreatur lainnya yang piutangnya mencapai triliunan. Kreditur yang dimaksud adalah PT Indo Barat Rayon.

Karena tidak segera melunasi kewajibannya kreditor kecil inilah yang kemudian menyebabkan kepairitan sritex.

Ekonomi Universitas Indonesia Fitrarah Faisal Hastiadi memiliki pendapat senada namun dengan perspektif yang berbeda. Dia mengatakan bahwa tekanan pada industri tekstil nasional sudah berlangsung selama satu dekade dan Permendak Nomor 8 2024bukanlah penyebab utamanya. Menurutnya, industri texstil menghadapi beberapa kendala, terutama ongkos produksi yang tinggi. Kenaikan upah tenaga kerja tidak sebanding dengan kenaikan produktivitasnya, Itu membuat biaya tenaga kerja jadi beban yang signifikan bagi para pelaku industri.

Selain itu Fitra mengatakan bahwa sulitnya akses bahan baku menjadi kendala tersendiri. Banyak pelaku usaha terhambat dalam mendapatkan bahan baku murah akibat regulasi impor yang ketat yang membatasi bahan baku luar negeri. Ini membuat harga produk eksstil sulit bersaing di pasar karena biaya produksi yang tinggi sehingga mengurangi daya saing produk testi nasional di tingkat global di bawah bayang-bayang kehancuran siteks saat ini tetap beroperasi seperti biasa. Bedanya, sekarang mereka memakai pita hitam, mulai dari jajaran manajemen, pegawai di pabrik, sampai satpam dan para sopir kompak memakai pita hitam bertuliskan Selamatkan Sritex Kitata itu juga dipakai para pedagang yang berjualan di depan pabrik.

Selain itu mereka juga datang ke Mahkamah Agung mengajukan Kasas. Upaya ini mendapat dukungan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia KSPI Said Iqbal. Dia mendesak MA mengabulkan kasasi tersebut. Said mengatakan, kalau Kasasi tersebut dikabulkan, maka satu spilit Sritex jadi Batal.

Saat ini pemerintah terus memonitor kondisi Sritex. Bea Cukai sudah memastikan aktivitas impor dan ekspor Sritex bisa tetap berjalan.

Menurut Airlangga, kebijakan seperti itu pernah diterapkan di kawasan berikat di Jawa Barat.

Sementara itu Menteri Ketenagakerjaan  Sritex menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mencegah PHK dan menjaga agar industri tekstil tetap bisa berproduksi. Muncul usul agar pemerintah memberikan pinjaman supaya Sritex bisa melunasi utang dan melanjutkan operasionalnya. Nah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Elangga Hartarto belum memastikan soal bail out ini. Beliau mengatakan bahwa “pemerintah akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan kurator yang menangani proses kepailitan Sritex.”

Sementara itu Said Iqbal menolak opsi dana talangan atau BLO tersebut. Dia menyarankan agar Sritex melanjutkan kesepakatan homologasi membayar utang dengan skema yang telah disepakati dengan para kreditur. Dia yakin Sritex memiliki kemampuan memenuhi kewajibannya tanpa perlu di- bail out oleh pemerintah. Saya juga meminta agar pemerintah adil terhadap semua perusahaan yang mengalami kesulitan finansial.

Bagian V | Masa Depan Industri Tekstil

Kasus Sritex ini jadi pengingat penting bagi seluruh pelaku industri tekstil bahwa besarnya skala bisnis saja tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan usaha. Meski pemerintah mungkin mempertimbangkan opsi bail out, itu jelas bukanlah solusi jangka panjang. Secara fundamental. Sritex tetap perlu berbenah dan membangun pondasi bisnis yang lebih kuat. Jika tidak, masalah yang sama akan berulang kembali.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil pelaku industri testil untuk menghadapi tantangan industri saat ini. Yang pertama, penting untuk memperkuat manajemen keuangan utang besar tanpa perencanaan risiko yang matang jelas beresiko. Yang kedua, diversifikasi produk dan pasar. Alih-alih hanya mengandalkan produk yang itu-itu aja, mungkin sekarang saatnya menjajaki produk-produk lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan saat ini. Nah, di saat yang sama juga mencari peluang pasar yang masih potensial, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Langkah berikutnya yang kalah pentingnya adalah meningkatkan efisiensi operasional melalui teknologi industri 4.0. Otomatisasi dan data analytik bisa memangkas biaya secara signifikan dan juga meningkatkan produktivitas kerja karyawan.

Investasi pada pengembangan keterampilan karyawan juga akan sangat membantu perusahaan untuk lebih cepat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Dengan langkah-langkah ini dan dukungan dari kebijakan pemerintah yang lebih seimbang, tentu saja pelaku industri tekstil bisa memiliki daya tahan yang lebih kuat dan bahkan berpeluang untuk berkembang di tengah berbagai tantangan yang ada. Saatnya para pelaku industri tekstil mengasah kepekaan bukan hanya untuk merasakan perubahan angin pasar, tapi juga untuk bergerak sebelum badai tiba, pasar selalu berbisik, memberi tanda dan tugas kita adalah mendengar dengan hati terbuka dan pikiran yang tajam. Jangan tunggu sampai kondisi memaksa. Mulailah membaca arah perubahan, sesuaikan langkah dan jadikan inovasi sebagai nafas setiap keputusan. Jadilah kapal yang siap berlayar di segala cuaca yang berani menyesuaikan arah layar tanpa ragu, inilah panggilan kita berani bertransformasi agar tidak hanya bertahan, tapi juga menaklukkan setiap gelombang yang datang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama