Saat GoPro Terjun Bebas

 


Siapa yang ga kenal GoPro? Kamera digital yang ringan, tangguh, dan memiliki angle lebar serta pas untuk merekam aksi ekstme. Kesuksesan GoPro menarik perhatian para investor besar. Pada 2013 Foxconn menanamkan 200 juta US dollar untuk 9% saham GoPro, yang kemudian mendorong nilai perusahaan menjadi 2,25 Milliar US Dollar.

Nick Woodman sang pendiri langsung jadi milyader. Setahun kemudian, GoPro melantai di bursa saham dan hanya dalam waktu beberapa bulan nilainya melonjak lebih dari tiga kali lipat. Tapi sayangnya, kini GoPro menghadapi kenyataan pahit. Total pangsa pasar GoPro di industri kamera aksi terus mengalami penurunan yang signifikan dari hampir 50% pada tahun 2015 menjadi kurang dari 20% pada tahun 2019 GoPro kini tertinggal dibandingkan para pesaing seperti Nicoon dan Garmin. Bahkan saat ini GoPro menjadi pemain terkecil di pasar kamera aksi dengan margin keuntungan yang jauh lebih rendah. 


Bagian I | Hikmah Rasa Kecewa

Seorang pemuda asal California bernama Nick Wodman gagal berbisnis di usianya yang 20an tahun. Dia pun frustasi nih, kemudian berlibur ke Australia dan Bali untuk menghibur diri. Malangnya, ketika berselancar di pantai Australia, dia sempatet kecewa gara-gara kamera yang merekam aksi selancarnya nggak berfungsi dengan baik. Tapi hikmahnya, dia jadi punya ide menciptakan kamera khusus untuk merekam aksi-aksi ekstrim.

Bermodal pinjaman dari ayahnya 200rb US Dollar. Nick berhasil membuat kamera kecil yang tahan air. Namanya GoPro Hero. Dia menjualnya langsung ke toko-toko alat selancar, dan pada tahun 2004, GoPro dipesan oleh Jepang dalam jumlah yang banyak dan setahun kemudian Nick sukses menjual tiga ribu unit GoPro dalam tepos sepuluh menit saja pada saat tampil di channel belanja QVC. Sejak itu, GoPro dikenal sebagai kamera digital yang inovatif, ringan, tangguh, dan anglenya lebar sehingga cocok dipakai untuk merekam aksi-aksi ekstrim. Popularitas GoPro bertambah setelah banyak penggunanya membuat video-video atraktif dan viral di youtube. Belakangan, GoPro menjadi kamera yang seakan-akan wajib dimiliki oleh para petualang aksi ekstrim.

Popularitas go-pro membuat para investor besar tertarik. Diantaranya Foxcon yang pada tahun 2013 menanamkan investasi sebesar 200 juta US Dollar atau saham senilai 9%, dan itu membuat nilai perusahaan Nick menjadi 2,25 Milliar US Dollar. Bahkan beberapa bulan setelah masuk bursa saham pada 2014, valuasinya melonjak tiga kali lipat lebih. Setelah lantai di bursa saham, performa GoPro terlihat sempurna, nilai sahamnya naik, keuntungannya mengalir, dan brandnya semakin kuat. Sayangnya, yang terjadi di balik itu sangat berbeda.

GoPro dibebani banyak masalah, terutama karena perusahaan ini tumbuh terlalu cepat. Jumlah karyawannya bengkak dari 700 orang menjadi 1800 orang.

Karyawan sebanyak itu bekerja tanpa koordinasi yang baik. Masing-masing tim sibuk bekerja sendiri-sendiri. Banyak proyek yang tumpang tindih dan tidak sedikit diantaranya yang merugi. Operasional GoPro sangat tidakdefisien. Biaya perusahaan terus memengkak, sedangkan pendapatan mulai menciut karena pasar kamera aksi mulai jenuh. Akibatnya, pada 2015, laba besi gopro anjlok hanya 2%, meskipun GOP masih bisa merauh pendapatan 1,6 Miliar US Dollar.

Di sisi lain kekayaan Nick melonjak 3 miliar US Dollar dan Nick mulai menjalani gaya hidup mewah. Dia membeli jet pribadi, kapal pesiar, rumah-ruma mewah, dan juga koleksi mobil-mobi mahal.

Bagian II | Keluar Dari Jalur Utama

Ketika inefisiensi perusahaan belum dibenahi, Nick malah berekspansi dia merambah bisnis media. Alasannya karena valuasi perusahaan media lebih tinggi daripada perusahaan perangkat keras. Nick juga yakin bisa mengkapitalisasi jutaan pengguna  GoPro. Dalam bayangannya nih, GoPro bisa menjadi platform dari digital, tempat video-video epic para penggunanya dipamerkan dan dimonetisasi. Dengan begitu GoPro bisa menyaingi Netflix, pikirnya, bahkan youtube atau Red Bull Media House. GoPro kemudian memperkerjakan sekitar seratus TAF khusus. Mereka adalah produser, editor, dan juga pengembang perangkat lunak. Mereka diminta merancang lebih dari 30 serial video orisinal. Anggarannya 100rb US dollar per episode, bengkak dari rencana awal yang hanya 10rb US dollar per episode.

Di atas kertas idenik itu memang bagus, tapi hasil eksekusinya jauh panggang dari api. Banyak serial video putus di tengah jalan platform Media yang dijanjikan juga nggak pernah diluncurkan. Padahal sepanjang tahun 2014 hingga 2016, jutaan US Dollar sudah keluar untuk mendanai GPC Media. Tapi hasilnya nihil, tidak ada pendapatan yang masuk. Wajar kalau kemudian pada tahun 2018 Divisi Media itu pun ditutup.

Akhirnya GoPro kembali fokus ke pasar action camera mereka memperluas pasar dengan produk baru. Mereka mencukan kamera aksi yang lebih kecil dan ringan, yaitu Hero FO Session. Harganya dibanderol 399,99 US Dollar dengan alas an GoPro adalah brand yang kuat dan ternyata produk itu nggak laku. Sebab dengan fitur yang minim, harga Hero FOS Session dianggap terlalu mahal. Apalagi di pasar sudah ada pesaing seperti Yi SJCAM dan juga Brica yang harganya jauh lebih murah, berkisar antara 1 juta sampai 4 juta rupiah. Cocok buat konsumen yang budgetnya minim kehadiran mereka mengikis dominasi GoPro. Karena itu, buru-buru la GoPro memangkas harga Hero Fosation menjadi 199 US Dollar.

Walaupun langkah itu malah jadi blunder yang merusak reputasi Go-pro sebagai brand premium.

Tahun 2016 mereka masuk ke pasar Drone dengan mencurkan Drone Karma. Waktu itu Pasar Drone Konsumen sedang berkembang dan dikuasai oleh DJI.

Kendati pun masuk ke pasarnya yang sudah terlambat, GoPro percaya diri Kama dijual dengan harga mahal karena paketnya lengkap. Ada Stabilisa bergenggam. Ada juga kamera GoPro Hero yang membuat Karma bisa lebih fleksibel dalam merekam berbagai aksi dari sudut-sudut yang sulit. Celakanya, banyak konsumen yang mengeluh karena Karma suka tiba-tiba jatuh. Baterainya terlepas pada saat terbang.

Terpaksa GoPro menarik 2500 unit Karma yang sudah terjual. Kejadian ini tentu saja merusak reputasi GoPro sebagai inovator, selain juga membani biaya operasional. Pendapatan mereka anjlok 37% pada akhir tahun 2017. Buntutnya, perusahaan memangkas 254 karyawan. Demi menekan biaya, pada tahun 2018 GoPro meninggalkan pasar drone. Masalah GoPro nggak berhenti sampai disitu. Di pasar kamera aksi yang pernah mereka kuasai juga muncul pesaing kuat yaitu smartphone modern.

Dari waktu ke waktu smartphone semakin canggih dan harganya juga semakin terjangkau. Ini membuat nilai jual utama GoPro, yaitu portabilitas dan durabilitas, nggak lagi menjadi keunggulan eksklusif. Sekarang, konsumen sudah bisa menggunakan ponsel yang hasilnya nggak kalah bagus. Selain itu, GoPro kurang berinovasi. Mereka memang terus meningkatkan kualitas video, tapi kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi lain, seperti kamera 360 derajat atau terintegrasi dengan perangkat-perangkat pintar lainnya. Setumpuk masalah itulah yang membuat GoPro jadi terpuruk. Anak emas Industri kamera aksi itu sekarang dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Pangsa pasarnya terus menciut. Tahun 2015, mereka masih menguasai 50% pangsa pasar. Kamera aksi lalu tinggal 20% pada tahun 2019

Pendapatan GoPro ikutan turun secara signifikan, memang pada tahun 2014 sampai 2017 pertumbuhan GoPro sempat melonjak dan unggul dari pesaingnya. Tapi sejak 2017 performa mereka terus menurun dan sekarang mereka hanya menjadi pemain biasa. Margin keuntungan juga semakin kecil, mereka sudah tertinggal dari para pesaingnya seperti Nikron dan Garmin yang pendapatannya terus bergerak naik.

Bagian III | GoPro Di Simpang Jalan

GoPro sukses menciptakan pasar kamera aksi hingga kemudian mendominasi pasar sukses ini mendorong GoPro untuk menjadi lebih dari sekedar produsen kamera. Sayangnya, diversifikasi usaha yang mereka lakukan ga matang. Akibatnya, sumber daya yang ada jadi terkuras, sementara hasilnya nihil. Pasar inti mereka pun akhirnya direbut oleh pesaing. GoPro berekspansi secara agresif dan tidak sesuai kompetensinya. Ekspansi ke bisnis media dan industri drown dilakukan tanpa analisis yang mendalam serta kesiapan teknologi yang memadai. Akibatnya, ekspansi itu gagal dan bahkan memperburuk kondisi finansial perusahaan. Mereka juga gagal berinovasi di lini produk utama. Mereka tidak bisa menyaingi pemain-pemain baru, bahkan smartphone yang perlahan-lahan mampu menggeser fungsi kamera aksi.

Serangkaian peristiwa itu menggiring GoPro ke sebuah persimpangan jalan. Nick harus mempertimbangkan langkah berikutnya secara matang, apakah dia akan terus mencoba mendiversifikasi bisnisnya? Ataukah dia akan kembali memperkuat bisnis inti mereka di pasar kamera aksi.

Kalau pilihannya adalah meneruskan diversifikasi, berarti GoPro harus benar-benar belajar dari kegagalan sebelumnya. Tapi kalau kembali ke bisnis inti, situasinya sekarang sudah nggak mudah pasar kamera aksi sudah sangat kompetitif, ditambah lagi teknologi smartphone yang terus mendesak fungsi kamera aksi. Jadi apa yang harus dilakukan oleh Nick?

Bagian IV | Aksi Penyelamatan GoPro

Nick Woodman menyadari GoPro harus kembali fokus pada kekuatan intinya. Walaupun situasi pasar kamera tidak lagi seperti dulu Nick akhirnya memperkenalkan GoPro Class. Ini adalah model bisnis berbasis langganan, berbeda dari model bisnis sebelumnya yang hanya menjual kamera dan aksesori tanpa layanan tambahan. Nah, dengan berlangganan konsumen bisa mendapatkan berbagai layanan, bisa menyimpan rekaman GoPro di cloud tanpa batas, mengganti kamera yang rusak, bahkan mendapatkan diskon 50% untuk pembelian aksesori. Juga bisa melakukan video editing melalui aplikasi yang disediakan.

Untuk mendorong konsumen berlangganan, GoPro menerapkan strategi harga yang unik, kalau konsumen membeli kamera langsung dari situs GoPro, harganya cuma 350 US dollar, jauh lebih murah dibandingkan kalau mereka beli di toko yang harganya 550 US dollar. Nah, selisih harga itu membuat banyak konsumen tertarik membeli langsung, dan dengan begitu otomatis mereka menjadi pelanggan GoPro Plus. Sistem langganan membuat GoPro bisa memperoleh pendapatan rutin bulanan tidak tergantung pada tren pasar atau musim. Dalam waktu singkat, GoPro bisa memperoleh pendapatan sekitar seratus juta US dollar per tahunnya. Kanunntungannya bisa mencapai 70% hingga 80%.

Pendapatan inilah yang membantu stabilitas GoPro karena penjualan kamera sangat fluktuatif. Masuknya pendapatan yang stabil membuat keuangan perusahaan perlahan-lahan membaik. Bahkan, pada tahun 2021, GoPro mencatat keuntungan sebesar 371 juta US dollar. Itulah keuntungan pertama mereka setelah 5 tahun berturut-turut merugi.

Oke, untuk sementara waktu kondisi GoPro terbantu oleh model berlangganan pendapatan mereka lebih stabil. Laba pertama yang diperoleh dalam 5 tahun terakhir jadi pertanda adanya kebangkitan kecil. Walaupun itu semua nggak cukup untuk mengembalikan GoPro ke masa jayanya sebagai pelopor dan pemimpin pasar kamera aksi. Kalau kita lihat data pendapatan GoPro, jelas bahwa mereka sudah sulit mengulang kejayaan seperti di tahun 2015. Waktu itu pendapatan mereka mencapai puncaknya di angka 1,8 miliar US dollar. Setelah itu turun, turun, turun, turun, lalu sempat stabil dalam beberapa tahun berikutnya. Tapi mulai 2022, pendapatan mereka kembali menurun. Pada tahun 2024 ini GoPro hanya memperoleh pendapatan 931 juta USD, jauh lebih kecil dibandingkan pendapatan di masa keemasannya.

Bagian V | Tiga Pelajaran Penting

Ada 3 pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah GoPro. Pertama, jangan pernah lupa akar saat ingin tumbuh lebih tinggi. Gopro awalnya berjaya dengan menggarap ceruk kamera aksi melalui produk yang kuat, tahan air, dan dibantu oleh konten para penggunanya. Namun, ambisi untuk menjadi perusahaan media membuat mereka lupa pada kekuatan utamanya. Fokus jadi terpecah, sumber daya terkuras, dan pasar inti yang dulu mereka kuasai mulai jatuh ke tangan pesaing. Kita jadi belajar bahwa bertumbuh itu penting, tapi harus tetap sejalan dengan apa yang menjadi kekuatan utama.

Yang kedua percaya diri itu baik, tapi jangan terlalu berlebihan. Keberhasilan awal membuat GoPro merasa merek mereka sudah cukup kuat untuk meiktai harga. Hero FO Session, misalnya, diluncurkan dengan harga tinggi tanpa riset yang matang. Padahal, pesaing sudah menawarkan produk serupa dengan harga yang lebih terjangkau. Konsumen yang kecewa akhirnya berpaling. Ketiga inovasi itu seperti api unggun harus terus dijaga agar tetap berkobar. Meskipun GoPro adalah pelopor kamera aksi, tapi mereka gagal menghadirkan pembaruan yang signifikan. Sedangkan pesaing terus menyuguhkan produk dengan teknologi yang lebih canggih.

Ketika inovasi berhenti, konsumen pun pergi, kita jadi diingatkan bahwa menjaga momentum itu lebih sulit daripada menciptakan gebrakan awal. Tapi itulah yang menentukan seberapa jauh kita bisa melangkah. Gopro mengingatkan kita bahwa dalam hidup ini kesuksesan bukan hanya soal mencapai puncak. Kesuksesan adalah juga tentang menjaga keseimbangan saat berada di puncak. Jangan pernah lupa siapa kita dan dari mana kita memulai, karena semua itu adalah akar yang menopang dan memberi kita kekuatan. Ketika kita ingin melangkah lebih jauh, pastikan setiap langkah berikutnya didasari oleh kebijaksanaan, bukan hanya oleh ambisi semata. Apapun mimpi Anda, fokuslah tetaplah rendah hati dan jangan pernah berhenti belajar. Karena kesuksesan sejati bukan hanya tentang hasil, melainkan tentang perjalanan yang penuh makna sampai akhir.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama