Setelah sempat jadi training topik tahun lalu, akhirnya perusahaan produsen wadah penyimpanan makanan yang ikonik. Tupperware secara resmi mengajukan permohonan kebangkrutan pada Selasa, 17 September 2024. Tupperware hutangnya mencapai 12,4 triliun rupiah. Ini kisah lama yang terus berulang. Qudak, blackberry. BCK. Bus. Toya Ras dan masih banyak lagi. Penyebab kebangkrutan mereka sama, yaitu terlambat merespon perubahan pasar dan perilaku pelanggan. Pertanyaannya, kenapa kejadian seperti itu terus berulang? Nah, yuk kita belajar dari Tupperware.
Daftar isi
Bagian I | Pesta Tupperware
Earl Tupper adalah pria kelahiran
New Hampshire pada 1907, Sejak kecil, dia hobi menggambar bermacam-macam benda
penemuan di dalam bukunya. Gambarnya unik-unik, misalnya sisir dengan klip ikat
pinggang atau perahu bertenaga ikan. Sayangnya, barang-barang yang unik itu
tidak bisa dimanfaatkan Tuper untuk menjadi produk bisnis atau bahkan untuk
apapun. Nah, ketika Amerika dilanda resesi Tuper yang sudah beranjak dewasa
merintis bisnis plastik, dia mendirikan perusahaan manufaktur plastik di Leo
Mingster Masa CHSET. Disitu Tupper membuat wadah plastik untuk sabun dan rokok.
Itulah cikal bakal perusahaan Tupperware yang sekarang produknya begitu akrab
dengan kehidupan kita.
Sebuah kesempatan emas bagi Tupper
datang setelah Perang Dunia kedua selesai. Waktu itu, perusahaan kimia Dupong
mempromosikan bahan plastik baru bernama poliettilena. Di zaman perang, poliettilena
digunakan untuk membuat radar. Nah. Tuper punya ide untuk memanfaatkan poliettilena
untuk membuat mangkuk yang mampu mengukir sejarah baru. Itulah wonderbol
mangkuk yang bisa ditutup dengan rapat. Barang seperti itu bagi kita sekarang
emang nggak aneh lagi ya. Tapi di zaman itu, mahkuk yang bisa ditutup dengan
sangat rapat adalah produk revolusioner. Bukan hanya bisa mencegah makanan
supaya nggak tumpah, tapi mangkuk seperti itu bisa membuat makanan di dalamnya
bisa tetap segar.
Meskipun inovasi Wonderboll
menakjubkan, sayangnya Tuper kesulitan menjualnya sampai kemudian muncul sosok
Brownie Wise. Dia adalah wanita pengusaha dari Florida yang berbisnis Pato
Partis. Menurut Browny, orang-orang tidak akan membeli Wonder Ball karena
mereka tidak paham cara memakainya. Oleh karena itu, Browne kemudian mengundang
ibu-ibu ke pesta di rumahnya. Di situ dia mendemonstrasikan cara kerja
Wonderboll Tupperware secara langsung.
Strategi itu ternyata berhasil
membuat para ibu-ibu tertarik membelinya. Di kemudian hari. Browi merekrut
ibu-ibu itu untuk mengadakan pesta serupa di rumah mereka masing-masing. Dia
menjadikan pesta Tupperware sebagai sebuah jejaring pemasaran Tupperware.
Tupper kemudian mendengar kisah
sukses Bronni dengan pesta Tupperwarenya. Akhirnya. Tupper merekrut dan
langsung mengangkat Browni menjadi wakil presiden. Pemasaran Tupperware. Pada
tahun 1991 Browni langsung membangun jaringan penjual yang lebih solid dan
menyebarkan model pesta Tupperware ke seluruh Amerika. Tiga tahun kemudian atau
pada tahun 1994 Tupperware berhasil meraup hasil penjualan sebesar 25 juta US
Dollar. Setelah eksis di negerinya dan di beberapa negara lainnya, akhirnya
Tupperware hadir di Indonesia. Produk-produknya yang terkenal berkualitas
tinggi dan tahan lama cocok untuk kebutuhan rumah tangga. Tupperware dinilai
bisa membantu meringankan pekerjaan sehari-hari di dapur karena desain-desain
produknya praktis dan juga inovatif.
Di Indonesia Tupperware tetap
menerapkan modal penjualan langsung, kontan Tuperware Partis populer di
kalangan ibu-ibu.
Mereka mendemstrasikan satu
persatu produk Tupperware sambil ngobrol ngalur nggiiul. Cara itu dinilai cocok
karena sesuai dengan budaya lokal masyarakat Indonesia, khususnya ibu-ibu yang
suka saling bersilaturahim atau aririsan. Tuperware juga membuka peluang besar
bagi para ibu rumah tangga untuk menjadi pengusaha kecil. Kesempatan tersebut
bisa dimanfaatkan para ibu-ibu untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Mereka
bisa berbisnis dari rumah sambil tetap mengurus keluarga. Langkah lainnya
adalah menyesuaikan produk Tuperware dengan kebutuhan pasar lokal. Berbagai
jenis produk Tuperware disesuaikan dengan gaya hidup dan selera masyarakat
Indonesia. Misalnya, ukuran desainnya disesuaikan untuk bisa mewadahi
makanan-makanan tradisional.
Itu semua membuat pemasaran
Tupperrware sukses di Indonesia hingga berhasil meraih penghargaan Top Brand
Award.
Bagian II | Pesta Telah Usai
Kesuksesan Tupperware merangsang
munculnya para pesaing yang menjadi tantangan baru bagi mereka. Kompetor itu
adalah Rubbermaid, Snapware. Joseph Josefh, dan Lock and Lock. Mereka
menawarkan produk-produk serupa, tapi dengan harga yang lebih murah.
Belakangan, persaingan di segmen ini semakin ketat setelah muncul sistema dan cambro
yang memperkenalkan inovasi dalam teknologi penyimpanan dengan distribusi
produk yang luas, tantangan Tupperware semakin besar. Seiring perubahan zaman.
Model penjualan langsung yang menjadi andalan Tupperware selama beberapa dekade
mulai kehilangan daya tariknya. Direct selling ga lagi efektif. Sebab, di era e-commerce
dan media sosial, konsumen lebih memilih pengalaman berbelanja yang lebih
praktis dan fleksibel, yang itu bisa didapat melalui online.
Turperware pun mengakui bahwa
ketergantungan mereka pada model penjualan langsung telah menghambat
pengembangan strategi OM Channel dan infrastruktur ecommers yang modern. Selain
itu, seperti yang dikatakan Susannah Streeter dari Harge Lans Down, “perubahan
perilaku konsumen telah membuat wadah Tupperware kehilangan daya tariknya.
Konsumen modern sekarang membutuhkan alat yang lebih ramah lingkungan untuk
menyimpan makanan.”
Begitu pula dengan
perubahan-peruluan besar yang terjadi dalam budaya dan gaya hidup masyarakat.
Semua itu secara perlahan menambah tekanan terhadap Tupperware. Sewaktu
Tuperware masih berjaya, banyak perempuan yang tidak bekerja seharian di
kantor. Karena itu, mereka menjadikan kegiatan kumpul-kumpul sesama tetangga
dan teman sebagai hiburan yang sekaligus bisa dimanfaatkan untuk jualan. Nah,
sekarang sudah lebih banyak perempuan yang bekerja seharian penuh dan tidak
punya lagi waktu untuk bekerja sampingan. Oleh karena itu, pesta penjualan
seperti Tupperware Patis menjadi tidak relevan lagi.
Sementara itu, pasar semakin
sesak dengan munculnya produk-produk sejenis. Produk-produk baru tersebut
rata-rata menawarkan harga yang lebih murah dan satu hal yang sebenarnya jadi
sangat ironis adalah program garansi seumur hidup.
Garansi tersebut membuat para
pembeli dan pemilik Tupperware jadi nggak sering membeli produk baru untuk
mengganti produk yang memang sudah rusak.
Bagian III | Kisah Yang Berulang
Tupperware sepertinya terlalu
yakin dengan strategi direct selling. Akibatnya, mereka terlambat beradaptasi
dengan perkembangan teknologi digital. Bayangin aja, sampai tahun 2023 lalu, 90%
penjualan Tupperware masih mengandalkan penjualan langsung. Padahal, e-commerce
sudah berkembang sejak tahun 1990 an. Mereka baru mulai serius menjajaki
platform digital pada tahun 2022. Waktu itu. Tupperware membuka toko di Amazon
dan target.
Tapi tentu saja langkah itu sudah
sangat-sangat terlambat untuk memperbaiki keterpurukan mereka di pasar modern. Brain
Fox selaku Chief Resrucing Office serta Tuperware mengakui bahwa meskipun
Tupperware sangat dikenal, tapi orang-orang selalu kebingungan dan
bertanya-tanya kemana ya kalau mau beli Tupperware? Ga heran kalau penjualan Tupperware
terus menurun.
Ketika berlangsung pandemi covid
19, penjualan Tupperware sempat melonjak. Sayangnya, mereka tidak bisa
mempertahankan momentum tersebut setelah pandemi meleda. Di sisi lain, mereka
harus menghadapi lonjakan biaya tenaga kerja, ongkos pengiriman, dan juga bahan
baku, terutama resin plastik yang menjadi bahan utama produk mereka.
Kenaikan-kenaikan biaya tersebut memperburuk situasi keuangan mereka. Padahal,
mereka itu udah susah dalam kondisi yang tertekan akibat terlambat beradaptasi
dengan perubahan pasar dan pola belanja konsumen. Sederet permasalahan itulah
yang mendorong Tupperware ke sebuah sudut ketidakberdayaan, mereka kesulitan
keuangan dengan beban hutang yang mencapai 812 juta US Dollar atau sekitar 12,4
triliun rupiah.
Mereka juga didesak oleh para
kreditur yang berusaha menyita aset, termasuk kekayaan intelektualnya. Hingga
akhirnya pada 17 September 2024 lalu, Tupperware mengajukan perlindungan
kebangkrutan.
Sebetulnya, nasib buruk seperti
itu tidak hanya dialami Tupperware. Ada banyak brand-brand besar yang juga
senasib, antara lain Kodak, Bckberry, Blockbuster, ToysRus, dan masih banyak
lagi. Brand-brand tersebut kisahnya sudah banyak dipaparkan dan ditelaah di
buku-buku strategian manajemen. Mereka terlalu percaya pada modal bisnis yang
dulu berhasil membuat mereka meraih sukses.
Tuperware memang terlalu lama
terpaku pada kesuksesannya, seperti juga Kodak dengan film fotografi. Block
Buster dengan penyewaan kaset video dan blackberry dengan ponsel keyboard
fisik.
Mereka menganggap keberhasilan
masa lalu akan tetap bertahan, Mereka mengabaikan tanda-tanda perubahan zaman
bahwa perubahan perlaku konsumen dan kemajuan teknologi akan terus mengubah
bagaimana sebuah bisnis harusnya dimainkan. Sikap Aby itu menciptakan
resistensi terhadap inovasi dan perubahan strategis. Kisah-kisah seperti itu
sebetulnya sudah banyak dibahas di uang-uang kuliah, bahkan di berbagai kanal
youtube. Tetapi anehnya, sampai hari ini masih aja ada yang nggak mau belajar
dari kisah-kisah pahit tersebut. Akhirnya kasus-kasus rupa terulang dan
terulang lagi.
Bagian IV | Jika Waktu Bisa Diputar
Jika kita bisa memutar waktu, apa
yang Tupperware bisa lakukan agar terhindar dari kebangkrutan. Pertama, jelas Tupperware
perlu mengadopsi e-commerce dan strategi OMI Channel. Mereka perlu
mengintegrasikan penjualan offline di toko dan platform digital seperti situs
web resmi, aplikasi mobile, dan juga marketplace yang populer. Dalam hal ini,
kita bisa belajar dari Nike. Mereka berhasil meningkatkan penjualan dengan strategi
OMI Channel yang cantik. Mereka memperkuat penjualan online dan berinteraksi
langsung dengan konsumen melalui aplikasi dan media sosial.
Berikutnya. Tupperware perlu
memodernisasi pemasaran dengan beralih dari metode tradisional ke digital
marketing. Mereka bisa mefaatkan media sosial, influencer, dan juga konten
digital untuk menjangkau audiens yang lebih muda dan melek teknologi. Coca-cola
misalnya, mereka telah mefaatkan kampanye media sosial yang kreatif dan
melibatkan konsumen dalam berbagai aktivitas online. Itu yang membuat
Coca-cola, meski usianya sudah 138 tahun, masih tetap relevan hingga hari ini.
Yang nggak kalah. Penting juga
berinovasi dan melakukan diversifikasi supaya bisa memenuhi kebutuhan pasar
yang terus berubah. Tupperware bisa mengembangkan produk ramah lingkungan atau
desagn yang lebih modern dan kekinian. Tantangan yang mirip pernah dihadapi
Lego yang akhirnya berhasil bangkit dengan inovasi produk, termasuk ketika LEGO
berkolaborasi dengan film dan video game, serta memproduksi balok dari bahan
yang berkelanjutan.
Terakhir, sebagai bagian dari
strategi OMI Channell. Tupperware bisa memanfaatkan kanal penjualan mode market
yang sesuai dengan segmennya. Misalnya, kerjasama dengan departmen store
seperti SOGO atau toko peralatan rumah tangga kelas menengah atas seperti AS.
Hardware, atau bisa juga Coperware membuka gerai-gerainya sendiri di mall-mal
besar, seperti yang dilakukan oleh Lock and Lock. Dengan begitu Tupperware bisa
memberikan pengalaman belanja yang lebih personal dan modern sambil menampilkan
rangkaian produk secara lengkap dan meningkatkan interaksi langsung dengan
pelanggannya.
Bagian V | Tiga Pelajaran penting
Kisah kebangkrutan Tupperware sedikitnya
mengandung tiga pelajaran berharga untuk kita, terutama bagi
perusahaan-perusahaan yang ingin tetap relevan di era modern.
Yang pertama Tupperware gagal
beratasi dengan perubahan perilaku konsumen dan tren belanja online. Model
penjualan langsung membuat mereka terlena dan enggan mengadopsi strategi
e-commerce dan OMI Channel. Yang kedua. Tupperware terlalu lama bertahan dengan
produk plastik yang ikonik. Mereka tidak merespon kebutuhan konsumen terhadap
produk yang lebih ramah lingkungan. Ketika kesadaran tentang lingkungan sudah
semakin meningkat, merek-merek pesaing yang responsif dengan produk yang lebih
terjangkau jelas akan berhasil mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar.
Yang ketiga, strategi pemasaran
yang usang bisa menjadi penghalang dalam menjaga relevansi mek. Tupperware
mengandalkan pemasaran tradisional dan gagal menyesuaikan pendekatan mereka
dengan audiens yang lebih muda dan digital saving. Padahal kampanye pemasaran
digital yang kuat dan pemanfaatan media sosial dapat membangun keterlibatan
audiens yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
Kita sadar bahwa dunia bisnis
akan terus berputar, kejayaan masa lalu adalah kenangan yang tidak menjamin
masa depan pasar akan terus berubah, pelanggan pun akan selalu berevolusi.
Itulah sebabnya kita harus terus bergerak mengikuti arus. Jika kita tetap
terpaku pada strategi yang usang, perlahan kita akan tertinggal. Saatnya bagi
kita untuk berani melangkah, berinovasi, dan memahami denyut perubahan.
Hanya mereka yang mau berubah
yang akan terus berdiri tegak di tengah gempuran persaingan. Kepada
perusahaan-perusahaan di Indonesia, mari kita ambil pelajaran dari Tupperware
dan kisah perusahaan lainnya yang gagal membaca pertanda zaman. Jangan biarkan
masa lalu menjerat langkah kita hari ini di dunia yang bergerak semakin cepat
kemampuan beradaptasi adalah kunci. Mari kita berani berubah, berani berinovasi
masa depan menunggu mereka yang siap menghadapi dan menangkap setiap gelombang
perubahan.