Kini, tak bisa dimungkiri bahwa ponsel telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita bahkan bisa jadi lebih dekat daripada orang-orang di sekitar. Data terbaru dari Digital 2025 Global Overview Report mempertegas kenyataan ini: Indonesia menempati peringkat tertinggi dalam penggunaan ponsel untuk akses internet di seluruh dunia.
Angkanya mencengangkan: 98,7% warga Indonesia berusia 16 tahun ke atas mengakses internet lewat ponsel, mengungguli Filipina dan Afrika Selatan yang berada di angka 98,5%. Tak hanya dari sisi jumlah pengguna, waktu penggunaan juga sangat tinggi. Rata-rata orang Indonesia menghabiskan 7 jam 22 menit per hari online, jauh di atas rata-rata global yang hanya 6 jam 38 menit.
Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan yang besar antara pengguna ponsel dan komputer. Sebanyak 63% lebih memilih ponsel, sementara hanya 37% yang menggunakan komputer. Ponsel dianggap lebih praktis, murah, dan fleksibel—bagi sebagian besar orang, bahkan menjadi satu-satunya perangkat yang dimiliki.
Dari sisi demografi, perempuan usia 16–24 tahun tercatat sebagai pengguna paling aktif dengan durasi penggunaan ponsel mencapai 4 jam 44 menit per hari. Sebaliknya, laki-laki usia 25–44 tahun cenderung lebih banyak memakai komputer, walau waktunya tak selama pengguna ponsel.
Fenomena ini bisa dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, ini menunjukkan masyarakat Indonesia cepat menyesuaikan diri dengan era digital. Namun di sisi lain, ini bisa juga jadi peringatan bahwa kita semakin tergantung—bahkan cenderung kecanduan. Salah satu komentar warganet menyebutnya secara tajam: “ponsel adalah hiburan murah.” Dan tampaknya, itu ada benarnya.
Kurangnya fasilitas publik, mahalnya biaya untuk kegiatan positif seperti olahraga atau seni, serta keterbatasan ruang sosial yang sehat, membuat ponsel jadi tempat pelarian utama. Murah, mudah diakses, dan terasa pribadi. Ponsel menghadirkan dunia kecil di genggaman yang bisa menghapus rasa kesepian, namun juga menjauhkan kita dari kenyataan.
Kecanduan ini bukan cuma urusan hiburan, tapi juga berdampak pada mental, produktivitas, dan hubungan sosial. Kita terbiasa scroll tanpa arah, kehilangan waktu, menunda tanggung jawab, bahkan abai terhadap orang-orang terdekat. Yang mengkhawatirkan, semua itu makin dianggap wajar.
Tapi benarkah ini wajar?
Sudah waktunya kita bertanya: apakah kita yang mengatur teknologi, atau justru sebaliknya? Kita tak perlu membuang ponsel atau berhenti berselancar di internet, tapi penting untuk mulai mengenali batas. Atur waktu. Isi hari dengan hal-hal nyata, bukan hanya deretan notifikasi.
Kita juga perlu membangun alternatif hiburan yang lebih sehat—entah membaca, berbincang dengan keluarga, atau berolahraga ringan. Untuk jangka panjang, solusinya bukan sekadar membatasi anak-anak dari layar, tapi mendidik mereka sejak dini agar menyadari bahwa dunia nyata lebih menyenangkan.
Peran orang tua, guru, pemerintah, dan komunitas sangat penting dalam menyediakan lingkungan dan ruang sosial yang ramah dan sehat. Semua pihak perlu berkontribusi menciptakan keseimbangan antara kehidupan digital dan dunia nyata.
Karena bagaimana pun teknologi akan terus berkembang. Tapi kendali atas penggunaannya selalu berada di tangan kita.