Lucu rasanya hidup di masa kini, ketika banyak orang sanggup menahan lapar seharian, tapi tidak tahan jauh dari ponsel selama satu jam. Alasannya sih cuma mau “cek notifikasi sebentar”, tapi ujung-ujungnya malah tenggelam tiga jam dalam guliran video acak. Dulu yang membuat seseorang lupa waktu adalah cinta, kini cukup dengan konten.
Berdasarkan laporan DataReportal 2025, masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari 3 jam 15 menit setiap hari di media sosial. Itu belum termasuk waktu “sekilas lihat” yang sering berubah jadi maraton visual tanpa bayaran. Riset Kominfo dan Katadata pun menemukan bahwa lebih dari 60% pengguna merasa cemas jika tidak membuka media sosial selama beberapa jam. Rasa senang dari “like” dan komentar bekerja layaknya efek dopamin dari zat adiktif. Para psikolog bahkan menamainya sebagai digital addiction disorder kecanduan digital. Katanya cuma hiburan ringan, tapi dampaknya bisa berat.
Masalah ini sejatinya bukan semata karena teknologi, melainkan karena sistem yang memang dirancang agar kita betah terjebak. Desain media sosial masa kini hampir sama seperti kasino di Las Vegas: ada suara notifikasi bak lonceng kemenangan, ada “like” yang terasa seperti hadiah, serta algoritma yang paham benar apa yang membuat kita terus menatap layar. Dan semua itu gratis — karena yang dijual bukan aplikasinya, tapi **kita**: data, waktu, dan perhatian. Platform makin kaya, pengguna makin letih, tapi tetap tak bisa berhenti. Sulit memang berhenti kalau kecanduannya dibungkus dalam bentuk lucu dan terasa dekat dengan keseharian.
Akar persoalannya jelas dunia digital sekarang lebih mengejar engagement daripada manfaat. Semakin lama seseorang bertahan di layar, semakin besar nilainya di pasar data. Maka tak heran, konten provokatif lebih cepat viral dibanding yang edukatif. Logika algoritmanya sederhana: yang memicu emosi akan tersebar lebih cepat, sedangkan yang menenangkan justru terkubur di bawah drama. Sama seperti pasar yang ramai bukan karena sehat, tapi karena gaduh. Ironisnya, para pengguna sadar bahwa mereka sedang jadi korban, namun tetap memilih bertahan, sebab dunia nyata terasa terlalu sepi.
Padahal, dulu teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia. Kini, teknologi justru membuat manusia sulit lepas dari dunia maya. Ironi terbesar era digital: kita bisa terhubung dengan semua orang, tapi kehilangan hubungan dengan diri sendiri. Kita lebih hafal wajah influencer dibanding tetangga, lebih sering berkomunikasi dengan emoji daripada bertatap mata. Kehangatan manusia tak akan pernah tergantikan oleh cahaya biru layar. Rupanya, candu tak selalu datang dari zat kimia kadang, ia muncul dari sinyal.
Solusinya sederhana, meski perlu tekad kuat: mulai dari hal kecil. Matikan notifikasi, batasi durasi penggunaan, dan beri ruang bagi keheningan. Kadang yang kita perlukan bukan hiburan baru, tapi hening yang jujur. Menikmati media sosial tidak salah, asal kita yang mengendalikannya bukan sebaliknya. Dunia digital itu layaknya samudra: bisa menjadi tempat menemukan mutiara, tapi juga bisa menenggelamkan bila kita lupa kapan harus naik ke permukaan.
Kini jelas, kecanduan bukan hanya soal narkoba atau alkohol, tapi juga tentang piksel dan guliran tanpa arah. Kita kehilangan waktu, fokus, bahkan kemampuan berpikir mendalam namun sering tak sadar karena semuanya terjadi perlahan. Mungkin bukan kontennya yang kurang, tapi akal sehatnya. Kita terus mencari makna hidup lewat video 15 detik, padahal makna sejati tumbuh lewat waktu dan keheningan.