Buat kalangan penikmat drama Korea negara ini mungkin dibayangin kayak negeri dongeng yang penuh sama cowok cowok romantis, perhatian, rela berkorban, ganteng. Pokoknya menuhin semua imajinasi wanita sebagai pria idaman, buat jadi pasangan hidup. Padahal kenyataannya kehidupan Korea justru beda banget sama apa yang ditampilin di drama-dramanya. Mungkin kamu nggak nyangka gitu kalau negara Korea tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat pernikahan yang rendah sekaligus punya angka perceraian yang tinggi. Ironisnya lagi, mayoritas masyarakatnya, terutama kaum wanita justru nggak pengen menikah dan ga mau berkeluarga. Bahkan negara Korea tercatat sebagai negara dengan angka kelahiran bayi paling rendah di dunia.
Yap dari tahun 2020 lalu sampai 2024
ini jumlah penduduk Korea tuh resmi ngamin penurunan dari tahun ke tahun karena
tingkat kematiannya jauh lebih banyak nih daripada angka kelahiran yang terus
menurun tahun ke tahun. loh Kok bisa sih pasangan-pasangan di Korea itu enggak
mau nikah dan kamu mau punya anak? Bukannya Korea itu seringkali digambarin
sebagai negara yang romantis ya yang masyarakatnya tuh sangat merhatiin
penampilan kok bisa-bisanya ya mereka enggak mau berpasangan.? Padahal, salah
satu tren unik dari masyarakat Korea adalah berkembangnya praktek operasi
plastik yang bahkan udah jadi budaya di masyarakat sana supaya bisa tampil
maksimal demi menuhin standar penampilan sosial di Korea.
Terus kenapa dong mereka enggak
mau berpasangan dan punya anak? Berdasarkan survei yang dirilis sama The Straet
Times, 33,7% anak muda Korea ga mau nika karena masalah keuangan.
17,3% Perlu 11% nya karena nggak
mau punya anak dan 10,2% karena pekerjaan belum stabil. Kok bisa ya mayoritas
rasanya karena masalah keuangan? Nah, sebelum kita bahas lebih lanjut, aku mau
jelasin dulu kenapa masalah pertumbuhan penduduk ini jadi isu yang sangat
membahayakan buat ekonomi negara Korea. Pilihan mau punya anak atau enggak itu
cuma soal hak dan pilihan hidup yang beda aja. Tapi kalau jumlahnya udah sampai
mempengaruhi tingkat pertumbuhan penduduk dalam salah satu negara.
Ini udah jadi alarm tanda bahaya
buat masa depan perekonomian sebuah negara. Karena kalau jumlah lansia lebih
banyak nih daripada anak muda, maka generasi muda yang jumlahnya sedikit itu
bakal sangat terbebani secara ekonomi untuk bisa menopang berbagai jaminan
sosial generasi tuanya yang udah nggak produktif lagi. Dan kalau misalnya
generasi mudanya dat beban tinggi dalam pekerjaan, ujung-ujungnya ini bikin
generasi muda tuh cenderung ga mau punya anak dan pola ini bakalan terus jadi
lingkaran setan dalam ekonomi kayak yang udah terjadi di negara Jepang. Masanya
kalau tren penurunan populasi ini terus terjadi di Korea, diprediksi angkatan
kerja Korea malah berkurang setengahnya dalam 20 tahun ke depan.
Dan setengah warga Korea Selatan
bakal berusia di atas 65 tahun dan ga bisa produktif lagi. Dengan semua gejala
ini, tentu aja pemerintah Korea Selatan tuh enggak tinggal diam. Selama 20
tahun terakhir pemerintah Korea udah ngabisin 266 milyar dollar supaya warganya
mau punya anak, pasangan yang punya anak bahkan dimanjain sama segudang
insentif dari pemerintah.
Mulai dari subsidi sewa dan beli
rumah, pembebasan pajak, sampai fasilitas kesehatan gratis. Korea Selatan juga
ngebebasin laki-laki dari tanggung jawab wajib militer kalau dirinya tuh punya
anak sebelum usia 30 tahun. Bahkan pemerintah juga nyiapin baby sitter buat
ngeringanin beban orang tua di Korea Selatan dan buat ningkatin angka
pernikahan pemerintah Korea sampai ngelakuin acara perjodohan massal sampai 5
kali dalam 1 tahun. Dan pasangan yang mutusin buat nikah berhak dapat insentif
yang nilainya tuh kira-kira setara 826 juta rupiah, tapi segalu ini enggak
berhasil.
Angka kelahiran bayi di Korea
terus menurun. Bahkan selama dua puluh tahun terakhir terjadi kenaikan
rata-rata umur pasangan yang menikah. Hal itu nandain kalau mayoritas pasangan muda
di Korea mutusin buat nunda untuk menikah. Di sisi lain, banyak yang
berpendapat kalau pemerintah Korea selama ini sebetulnya ga tepat sasaran pada
akar masa utamanya, yaitu masalah kestabilan kerja, penghasilan dan juga
keseraan kesempatan dalam berkarir dimana masyarakat Korea bisa jadi bukan gak
pengen berkeluarga karena pilihan gaya hidup, melainkan terpaksa karena
tuntutan lingkungan terutama tekanan dunia kerja.
Sekarang yuk kita lihat sisi
ekonomi Korea, gimana sih gambaran ekonomi Korea? Sampai-sampai masyarakatnya
ngera merasa tekanan dunia kerjanya begitu tinggi?
Nah buat kamu yang belum tahu
kekuatan ekonomi negara Korea ini sangat bergantung sama sekelompok keluarga
konglomerasi.
Yang dapat julukan tersendiri di
Korea yaitu Chaebol.
Yap Chaebol ini adalah istilah di
Korea yang mengacu pada keluarga konglomerat yang punya kerajaan bisnis raksasa
dan biasanya tuh punya pengaruh politik yang kuat juga di Korea. Beberapa
contohnya tuh kayak The List Family yang punya Samsung khusus family yang punya
LG. CHS Family yang punya sky. GU Chans Family yang punya lote grup. Terus ada
juga Chung Family yang punya Hyundai dan masih banyak Chaebol- Chaebol lainnya.
Bisa dibilang kekuatan ekonomi negara Korea tuh sangat bergantung sama
sekelompok konglomerasi keluarga ini, dimana mereka bahkan punya pengaruh yang
kuat secara politik. Menurut buku Republic of Chaebol karya Park Sun In,
konglamerrasi chaebol di Korea tuh berkontribusi sebesar 70%.
Dari ekonomi negara Korea hal ini
juga bisa dilihat dari marketcap seluruh sahamsah yang dimiliki para cebol ini
sangat dominan menguasain perdagangan di bursa saham Korea.
Nah masalahnya dominasi Chaebol ini
justru bikin ekonomi Korea terlalu dikuasain sekelompok keluarga konglomerat
doang. Gimana para pengusaha menengah dan pengusaha kecil di Korea yang
notabene nyerap paling banyak tenaga kerja jadi enggak punya ruang gerak lagi
dan susah banget buat berkembang. Kenapa nggak punya ruang gerak? Karena pada
dasarnya keluarga Chaebol ngontrol terlalu banyak sektor industri di Korea.
Ga cuma di sisi teknologi tapi
juga manufaktur otomotif, ritel, sampai pertanian. Jadi bisnis apapun yang
dibikin sama kalangan masyarakat menengah. Padahalnya tuh ga mampu bersaing
sama gurita bisnis yang udah dibangun sama para Chaebol ini.
Apalagi Chaebol juga sangat dekat
gitu ya sama pemerintahan dan punya pengaruh kuat secara politik. Jadi banyak
kebijakan pemerintah Korea yang pada akhirnya nguntungin para Chaebol aja.
Misalnya tuh pada pembangunan Korea Selatan, pemerintah ngasih akses kredit
murah ke para Chaebol lewat bank BUMN. Saat itu bunga komercel di pasar umum bisa
15 sampai 20 persen, tapi Chaebol dikasih bunga lima sampai 7 persen aja.
Selain itu mereka juga sering dapat keringanan syarat kredit. Selain itu,
pemerintah juga sering ngasih insentif buat industri strategis kayak industri semi
konduktor yang dimiliki sama para Chaebol. Belakangan ini pemerintah juga
ngasih subsidi 19 miliyar dollar Amerika terhadap industri yang dikuasai sama Chaebol.
Hubungan pemerintah Korea dan para Chaebol ini udah terlalu mengakar kuat
selama puluhan tahun.
Dan dari kacamata perekonomian
pasar bebas. Hal ini sebetulnya mematikan banyak kesempatan buat para pengusaha
baru dan juga para pekerja yang butuh industri persaingan yang sehat. Nah,
semua ini pada akhirnya nimbulin masalah ekonomi lain. Itu tingginya tingkat
pengangguran di Korea.
Khususnya di kalangan muda. Loh,
kok bisa ya angka pengangguran tinggi di Korea? Apa masalahnya sih? Emang yang
pertama SDM Korea itu ngalamin kesenjangan antara jumlah tenaga kerja terampil
sama ketersediaan lapangan kerja yang sanggup menyerap tenaga kerja tersebut.
Bisa dibilang kalangan moda Korea itu berlomba-lomba dalam dunia akademis.
Sampai mereka tuh punya banyak banget SDM berpendidikan tinggi.
Masalahnya para SD unggul ini
nggak bisa terserap. Soalnya ketersediaan lapangan kerja yang bergengsi buat
mereka juga terbatas banget. Mayoritas golongan muda Korea ini pengen kerja di
perusahaan konglomerasi kaya Samsung, Hyunda, LG dan lain-lain. Masa buat bisa
masuk ke perusahaan besar ini persaingannya tuh ketat banget. Di sisi lain,
banyak anak muda yang ga tertarik juga gitu buat kerja di perusahaan kecil atau
menengah. Soalnya ada perbedaan gaji yang terlampau besar antara perusahaan
menengah sama perusahaan yang dimiliki para Chaebol. Pada akhirnya banyak anak
muda Korea yang mutusin buat nganggur aja dan kerja di sektor informal
ketimbang kerja di perusahaan menengah.
Mereka tuh juga cenderung enggak
terlalu termotivasi buat jadi pengusaha atau entrepreneurur karena ngerasa
nggak bisa bersaing sama perusahaan konglomerasi Chaebol yang udah monopoli
semua industri di Korea, dimana perusahaan para ceebol ini sanggup buat
mendisrupsi pasar dengan nurunin harga, mengontrol pasokan, atau bahkan
mengambil ari pasar dengan inovasi teknologi.
Nah itulah sedikit pembahasan aku
tentang sisi lain dari ekonomi Korea. Ternyata dibalik pencapaian industri
teknologinya yang luar biasa di balik dunia entertainment dan pop culture yang
mendunia, negara Korea tuh sebetulnya menyimpan banyak sisi gelap dalam
ekonominya. Mulai dari krisis kependudukan, tingginya tekanan kerja, monopoli
panas sekelompok elit pebisnis, diskriminasi kebijakan pemerintah yang cuma
nguntungin kalangan elit, sampai angka pengangguran yang tinggi dan juga
industri kelas menengah yang ga bisa berkembang di sana.