Fenomena Kelas Menengah Kebawah Terobsesi dengan Iphone

 

Kamu sadar enggak sih? Iphone itu udah kayak artefak sosial yang punya makna lebih dari sekedar teknologi, di Indonesia barang ini bukan cuma alat komunikasi, tapi juga lambang status sosial. Masalahnya, obsesi ini enggak cuma ada di kalangan orang kaya yang emang mampu, tapi juga di kelas menengah bahkan keba yang kadang harus ngepush keuangan mereka sampai batas buat beli barang ini. Pertanyaannya, kenapa bisa sampai segitunya? Apakah Iphone memang sebagus itu? Atau kita semua jadi korban dari tekanan sosial, branding perusahaan, dan pola konsumsi yang enggak sehat. Nah, di pembahasan kali ini kita bakal bahas fenomena ini dari sisi psikologi sosial, perilaku konsumsi, strategi marketing, sampai dampak ekonomi yang seringkali luput dari perhatian.


Bagian I | Iphone Sebagai Simbol Status Sosial

Di Indonesia ada satu hal yang udah jadi rahasia umum, yaitu punya iphone itu hatinya lu berkelas. Padahal definisi kelas di sini enggak selalu melihat kondisi financial yang sebenarnya. Bahkan banyak orang yang secara ekonomi pas-pasan rela ngorbanin kebutuhan penting demi punya iphone. Fenomena ini red banget sama konsep sosial Signaling. Dalam teori ini, barang yang kita miliki, termasuk gadget digunakan buat mengirimkan sinyal ke lingkungan di masyarakat kita Sinyal yang dikirim lewat Iphone adalah sebuah kesuksesan, kemapanan, dan sebuah stabilitas.

Coba kalian lihat sekitar, misalnya di tongkrongan anak muda, kalau bawa HP Android yang murah, mungkin kamu bakal dicuekin gitu. Tapi kalau kamu buka iphone, tiba-tiba kamu jadi pusat perhatian. Ini menciptakan semacam hirarki sosial yang baru, yang ironisnya berbasis barang konsumsi.

Bagian 2 | Psikologi Gengsi dan Fear Of Missing Out

Kalian tahu enggak gengsi itu punya kekuatan besar dalam mengatur cara orang berperilaku, terutama di Indonesia. Gengsi bukan cuma soal apa yang kalian pamerin ke orang lain, tapi juga tentang apa yang kamu rasain buat diri kamu sendiri. Disini FOMO atau Fear of Missing Out berperan penting. Fomo itu sebanyak insting dasar manusia yang takut ketinggalan sesuatu yang dianggap penting. Dan ini makin diperparah sama media sosial kalian scroll Instagram, tiktok atau Twitter. Dan kamu melihat orang-orang yang pamer iphone baru mulai dari unboxing sampai hasil foto-foto mereka, otomatis kamu merasa ada yang salah kalau nggak punya itu juga gitu.

Bayangin kalian ada di lingkungan pertemanan yang semuanya pakai Iphone terbaru mereka ngobrol soal fitur baru atau bahkan casing yang masing sama outfir mereka. Kalau nggak punya iphone langsung merasa tertinggal, kamujadi takut gak bisa relate, takut gak diakui dan akhirnya kamu kejebak dalam siklus konsumsi yang sebenarnya enggak kamu perlukan.

FOMO ini juga berhubungan erat sama budaya pamer, kalian pasti sadar kan betapa seringnya orang Indonesia pamer barang di media sosial. Entah itu jam tangan, sepatu atau iphone gitu. Dibalik foto atau video yang mereka unggah, ada pesan tersembunyi, mereka punya barang itu dan kamu itu enggak gitu. Pesan ini bikin orang lain merasa harus mengejar biar mereka nggak kalah, tapi apa ini sehat? Sebenarnya obsesi ini cuma bikin fokus sama hal-hal yang sifatnya sementara ketika iphone baru keluar tahun depan, barang yang kalian banggakan hari ini langsung terasa jadul, Ini kayak ngejar bayangan ga pernah selesai. Dan ironisnya semakin mengejar, semakin besar rasa kosong yang kamu rasain.

Bagian 3 | Kekuatan Branding Apple

Apple itu bukan cuma perusahaan teknologi, mereka adalah pemenang dalam peran persepsi. Mereka enggak jual produk, mereka jual pengalaman dan pengalaman itu dikemas dengan sempurna lewat brending yang sangat kuat. Coba kalian perhatiin nih karena iphone kamu ga bakal nemu Apple ngomong soal speck teknologi, kayak RAM processor atau kapasitas baterai. Sebaliknya, mereka selalu fokus ke cerita misalnya gimana iphone bisa bikin momen keluarga kalian lebih bermakna lewat kamera mereka? Atau gimana kalian bisa bikin video sistematik kayak sutradara profesional. Strategi ini bekerja dengan sangat efektif di Indonesia.

Dimana banyak orang membeli barang berdasarkan emosi bukan logika, ketika kamu lihat iklan Apple kamu engga cuman ngelihat barang, tapi juga gaya hidup yang pengen kamu punya. Mereka bikin kamu percaya kalau hidup kamu bakal lebih keren, lebih bahagia, dan lebih sukses kalau kalian punya iphone. Selain itu. Apple juga sangat pintar dalam menciptakan rasa eksklusivitas dengan harga yang tinggi. Mereka bikin produk ini terasa istimewa. Tapi irolisnya, eksklusivitas ini malah jadi alasan kenapa orang-orang kelas menengah ke bawah makin pengen punya. Mereka merasa kalau punya iphone, mereka bakal naik kelas dan setara sama orang-orang yang lebih mampu.

Bagian 4 | Kredit dan Cicilan Yang Mempermudah

Salah satu alasan kenapa iphone bisa dimiliki banyak orang adalah sistem kredit atau cicilan, di permukaan ini kelihatan kayak solusi yang mempermudah dengan uang muka kecil atau cicilan ringan. Siapapun bisa bawa pulang iphone, tapi kamu sadar enggak kalau ini sebenarnya jebakan finansial? Banyak vintage atau toko online yang nawarin cicilan iphone dengan bunga yang kelihatan kecil, misalnya 2% perbulan. Tapi kalau hitung setahun bunga ini nyampe 24% itu jauh lebih mahal dibandingkan harga aslinya. Bahkan ada yang lebih parah kamu bisa bayar bunga sampai hampir dua kali lipat dari harga hpnya. Masalahnya, banyak orang nggak peduli sama ini. Mereka cuma fokus ke nominal cicilan bulanan yang kelihatan kecil kayak 500.000/ perbulan.

Tapi mereka lupa total cicilan itu bakal makan sebagian besar penghasilan mereka dalam setahun. Ini juga nyambung ke literasi keuangan yang rendah di Indonesia. Banyak orang nggak ngerti gimana sistem kredit atau cicilan sebenarnya bekerja. Mereka cuma melihat kemudian di depan mata tanpa mikirin konsekuensi jangka panjang.Akhirnya mereka kejebak hutang konsumtif yang sulit dilunasi.

Bagian 5 | Ketidaktahuan Soal Prioritas Keuangan

Kalian sadar gak, salah satu masalah terbesar masyarakat kita adalah sulitnya membedakan antara kebutuhan dan keinginan dan ingin jadi alasan utama kenapa banyak orang di kelas menengah ke bawahwah terobsesi dengan iphone.

Mereka enggak pernah bener-bener mikir apa saya butuh ini apa saya cuma pengenin doang gitu, Misalnya ada seorang karyawan dengan gaji 5 juta perbulan. Bukannya nabung buat dana darurat atau investasi, dia malah ngambil cicilan iphone dengan bayar 1 juta perbulan. Itu artinya 20% dari gajinya habis cuma buat sebuah iphone. Kalau tiba-tiba ada kebutuhan darurat, apa yang bisa dia lakuin? Ya utang lagi gitu. Ini juga terjadi karena minimnya literasi keuangan di Indonesia.

Survei Otoritas Jasa Keuangan atau OJK tahun 2022 menunjukkan kalau tingkat literasi keuangan masyarakat kita baru sekitar 49%. Artinya, hampir setengah penduduk Indonesia nggak ngerti cara mengelola uang mereka, jadi nggak heran, banyak yang merasa enggak masalah buat ngutang atau nyicil barang yang sebenarnya nggak penting. Tapi dibalik itu, ada tekanan sosial yang bikin orang merasa harus punya iphone biar setara dengan orang lain. Ini menciptakan ilusi prioritas dan mereka mikir kalau punya iphoneadalah langkah maju padahal kenyataannya mereka justru mundur secara finansial.

Bagian 6 | Kualitas VS Gengsi

Kalau kita memang jujur secara teknis iphone bukan selalu yang terbaik. Ada banyak HP Android flagshin yang punya fitur lebih unggul dengan harga yang lebih murah, tapi kenapa orang tetap milih iphone? Jawabanya cuma satu yaitu gengsi. Ambil contoh perbandingan kamera. Misalnyanya iphone terbaru puny kamera 48 megapixel, tapi ada HP Android di harga separuhnya dengan kamera 108 megapixel. Dari segi spek, jelas Android lebih unggul, tapi orang tetep lebih bangga pamer foto dari iphone meskipun hasilnya enggak jauh beda gitu. Kenapa ini bisa terjadi? Karena dikepala orang kualitas seringkali enggak lebih penting dari persepsi misalnya, ibaratnya kamu beli tas BNET yang harganya puluhan juta padahal tas itu fungsinya sama aja kayak tas biasa. Tapi yang kamu bayar sebenarnya itu adalah merek, bukan kualitas.

Fenomena ini mencerminkan budaya konsumsi yang salah kaprah di masyarakat kita. Orang lebih peduli sama apa yang dilihat orang lain daripada apa yang benar-benar mereka butuhin. Dan ini lagi-lagi memperburuk keadaan kelas menengah ke bawah karena mereka ngorbanin kebutuhan pokok cuma buat ngejar barang yang sebenarnya ga signifikan.

Bagian 7 | Efek Media Sosial

 Media sosial itu kayak pedang bermata dua. Di satu sisi dia bikin kita lebih terkoneksi tapi di sisi lain dia juga jadi mesin pencipta obsesi konsumtif. Dan salah satu barang yang paling sering dipamerin di media sosial adalah iphone. Kalian perhatiin enggak tiap kali ada iphone baru rilis langsung ramai video unboxing di Instagram, youtube dan tiktok, influencer, seleb, dan bahkan temen-temen lu sendiri ikut pamer. Mereka nunjukin betapa kerennya desain baru iphone.

Betapa canggihnya kameranya dan betapa berkelasnya mereka yang udah punya ini bikin orang yang nonton merasa terprovokasi. Mereka mikir kalau dia bisa punya ya kenapa gue nggak gitu. Efek ini jauh lebih kuat di kelas mene ke bawah yang udah terbiasa ngeliat media sosial sebagai patokan gaya hidup. Mereka merasa kalau mereka enggak ikut tren, mereka bakal ketinggalan. Tapi kalian harus paham apa yang melihat di media sosial itu seringkali cuma ilusi. Banyak influence yang dapat iphone gratis dari sponsor atau bahkan minjem cuma buat konten, tapi buat orang yang biasa. Mereka harus bayar pakai uang beneran yang kadang mereka enggak punya gitu.

Bagian 8 | Kontradiksi Kelas Sosial

Ada ironi besar dibalik fenomena ini, kelas menengah ke bawah adalah kelompok yang paling tertekan secara finansial. Tapi mereka juga paling sering jadi kelompok yang paling tertekan secara finansial. Tapi mereka juga paling sering ja korban obsesi konsumtif. Kenapa ini bisa terjadi? Salah satunya adalah karena ketidakstabilan ekonomi mereka. Orang yang berada di kelas ekonomi bawah seringkali merasa insecu dengan posisinya mereka piin naik kelas. Dan salah satu cara tercepat buat terlihat sukses adalah dengan beli barang mahal kayak iphone. Tapi ingin menciptakan kontradiksi, alih alih memperbaiki kondisi mereka. Mereka justru makin terpuruk, hutang nambah, tabungan habis dan kebutuhan penting lainnya diabaikan. Obesesi ini jadi kayakya lingkaran setan yang susah mereka keluarin.

Penutup

Dari semua yang udah kita bahas, jelas banget kalau obsesi sama iphone di kalangan ke sembilan ke bawah lebih banyak ruginya daripada manfaatnya. Ini bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal budaya, psikologi, dan ekonomi yang salingberkaitan.

Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakuin? Yang pertama mungkin sadar diri kamu harus bisa bedain mana kebutuhan dan mana keinginan. Jangan sampai kalian jadi korban tren yang sebenarnya enggak ada manfaatnya buat hidupmu. Yang kedua edukasi. Kita perlu ngajarin masyarakat soal pentingnya literasi keuangan. Kalau enggak ada perubahan, bicara orang mengelola uang mereka, fenomen ini bakal terus berulang.

Dan yang terakhir mulai dari diri sendiri, kalau ada di posisi ini, tanya ke diri kamu sendiri, apa bener-bener butuh iphone atau cuma pengen pamer gitu? Jawabanmu bahkan nentuin gimana masa depan finansial kalian.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama