Kamu sadar enggak sih? Iphone itu udah kayak artefak sosial yang punya makna lebih dari sekedar teknologi, di Indonesia barang ini bukan cuma alat komunikasi, tapi juga lambang status sosial. Masalahnya, obsesi ini enggak cuma ada di kalangan orang kaya yang emang mampu, tapi juga di kelas menengah bahkan keba yang kadang harus ngepush keuangan mereka sampai batas buat beli barang ini. Pertanyaannya, kenapa bisa sampai segitunya? Apakah Iphone memang sebagus itu? Atau kita semua jadi korban dari tekanan sosial, branding perusahaan, dan pola konsumsi yang enggak sehat. Nah, di pembahasan kali ini kita bakal bahas fenomena ini dari sisi psikologi sosial, perilaku konsumsi, strategi marketing, sampai dampak ekonomi yang seringkali luput dari perhatian.
Daftar isi
- Bagian I | Iphone Sebagai Simbol Status Sosial
- Bagian 2 | Psikologi Gengsi dan Fear Of Missing Out
- Bagian 3 | Kekuatan Branding Apple
- Bagian 4 | Kredit dan Cicilan Yang Mempermudah
- Bagian 5 | Ketidaktahuan Soal Prioritas Keuangan
- Bagian 6 | Kualitas VS Gengsi
- Bagian 7 | Efek Media Sosial
- Bagian 8 | Kontradiksi Kelas Sosial
- Penutup
Bagian I | Iphone Sebagai Simbol Status Sosial
Di Indonesia ada satu hal yang
udah jadi rahasia umum, yaitu punya iphone itu hatinya lu berkelas. Padahal
definisi kelas di sini enggak selalu melihat kondisi financial yang sebenarnya.
Bahkan banyak orang yang secara ekonomi pas-pasan rela ngorbanin kebutuhan
penting demi punya iphone. Fenomena ini red banget sama konsep sosial Signaling.
Dalam teori ini, barang yang kita miliki, termasuk gadget digunakan buat
mengirimkan sinyal ke lingkungan di masyarakat kita Sinyal yang dikirim lewat
Iphone adalah sebuah kesuksesan, kemapanan, dan sebuah stabilitas.
Coba kalian lihat sekitar,
misalnya di tongkrongan anak muda, kalau bawa HP Android yang murah, mungkin kamu
bakal dicuekin gitu. Tapi kalau kamu buka iphone, tiba-tiba kamu jadi pusat
perhatian. Ini menciptakan semacam hirarki sosial yang baru, yang ironisnya
berbasis barang konsumsi.
Bagian 2 | Psikologi Gengsi dan Fear Of Missing Out
Kalian tahu enggak gengsi itu
punya kekuatan besar dalam mengatur cara orang berperilaku, terutama di
Indonesia. Gengsi bukan cuma soal apa yang kalian pamerin ke orang lain, tapi
juga tentang apa yang kamu rasain buat diri kamu sendiri. Disini FOMO atau Fear
of Missing Out berperan penting. Fomo itu sebanyak insting dasar manusia yang
takut ketinggalan sesuatu yang dianggap penting. Dan ini makin diperparah sama
media sosial kalian scroll Instagram, tiktok atau Twitter. Dan kamu melihat
orang-orang yang pamer iphone baru mulai dari unboxing sampai hasil foto-foto
mereka, otomatis kamu merasa ada yang salah kalau nggak punya itu juga gitu.
Bayangin kalian ada di lingkungan
pertemanan yang semuanya pakai Iphone terbaru mereka ngobrol soal fitur baru
atau bahkan casing yang masing sama outfir mereka. Kalau nggak punya iphone
langsung merasa tertinggal, kamujadi takut gak bisa relate, takut gak diakui
dan akhirnya kamu kejebak dalam siklus konsumsi yang sebenarnya enggak kamu
perlukan.
FOMO ini juga berhubungan erat
sama budaya pamer, kalian pasti sadar kan betapa seringnya orang Indonesia
pamer barang di media sosial. Entah itu jam tangan, sepatu atau iphone gitu.
Dibalik foto atau video yang mereka unggah, ada pesan tersembunyi, mereka punya
barang itu dan kamu itu enggak gitu. Pesan ini bikin orang lain merasa harus
mengejar biar mereka nggak kalah, tapi apa ini sehat? Sebenarnya obsesi ini
cuma bikin fokus sama hal-hal yang sifatnya sementara ketika iphone baru keluar
tahun depan, barang yang kalian banggakan hari ini langsung terasa jadul, Ini
kayak ngejar bayangan ga pernah selesai. Dan ironisnya semakin mengejar,
semakin besar rasa kosong yang kamu rasain.
Bagian 3 | Kekuatan Branding Apple
Apple itu bukan cuma perusahaan
teknologi, mereka adalah pemenang dalam peran persepsi. Mereka enggak jual
produk, mereka jual pengalaman dan pengalaman itu dikemas dengan sempurna lewat
brending yang sangat kuat. Coba kalian perhatiin nih karena iphone kamu ga
bakal nemu Apple ngomong soal speck teknologi, kayak RAM processor atau
kapasitas baterai. Sebaliknya, mereka selalu fokus ke cerita misalnya gimana
iphone bisa bikin momen keluarga kalian lebih bermakna lewat kamera mereka?
Atau gimana kalian bisa bikin video sistematik kayak sutradara profesional.
Strategi ini bekerja dengan sangat efektif di Indonesia.
Dimana banyak orang membeli
barang berdasarkan emosi bukan logika, ketika kamu lihat iklan Apple kamu engga
cuman ngelihat barang, tapi juga gaya hidup yang pengen kamu punya. Mereka
bikin kamu percaya kalau hidup kamu bakal lebih keren, lebih bahagia, dan lebih
sukses kalau kalian punya iphone. Selain itu. Apple juga sangat pintar dalam
menciptakan rasa eksklusivitas dengan harga yang tinggi. Mereka bikin produk
ini terasa istimewa. Tapi irolisnya, eksklusivitas ini malah jadi alasan kenapa
orang-orang kelas menengah ke bawah makin pengen punya. Mereka merasa kalau
punya iphone, mereka bakal naik kelas dan setara sama orang-orang yang lebih
mampu.
Bagian 4 | Kredit dan Cicilan Yang Mempermudah
Salah satu alasan kenapa iphone
bisa dimiliki banyak orang adalah sistem kredit atau cicilan, di permukaan ini
kelihatan kayak solusi yang mempermudah dengan uang muka kecil atau cicilan
ringan. Siapapun bisa bawa pulang iphone, tapi kamu sadar enggak kalau ini
sebenarnya jebakan finansial? Banyak vintage atau toko online yang nawarin
cicilan iphone dengan bunga yang kelihatan kecil, misalnya 2% perbulan. Tapi
kalau hitung setahun bunga ini nyampe 24% itu jauh lebih mahal dibandingkan
harga aslinya. Bahkan ada yang lebih parah kamu bisa bayar bunga sampai hampir
dua kali lipat dari harga hpnya. Masalahnya, banyak orang nggak peduli sama
ini. Mereka cuma fokus ke nominal cicilan bulanan yang kelihatan kecil kayak
500.000/ perbulan.
Tapi mereka lupa total cicilan
itu bakal makan sebagian besar penghasilan mereka dalam setahun. Ini juga
nyambung ke literasi keuangan yang rendah di Indonesia. Banyak orang nggak
ngerti gimana sistem kredit atau cicilan sebenarnya bekerja. Mereka cuma melihat
kemudian di depan mata tanpa mikirin konsekuensi jangka panjang.Akhirnya mereka
kejebak hutang konsumtif yang sulit dilunasi.
Bagian 5 | Ketidaktahuan Soal Prioritas Keuangan
Kalian sadar gak, salah satu
masalah terbesar masyarakat kita adalah sulitnya membedakan antara kebutuhan
dan keinginan dan ingin jadi alasan utama kenapa banyak orang di kelas menengah
ke bawahwah terobsesi dengan iphone.
Mereka enggak pernah bener-bener
mikir apa saya butuh ini apa saya cuma pengenin doang gitu, Misalnya ada
seorang karyawan dengan gaji 5 juta perbulan. Bukannya nabung buat dana darurat
atau investasi, dia malah ngambil cicilan iphone dengan bayar 1 juta perbulan.
Itu artinya 20% dari gajinya habis cuma buat sebuah iphone. Kalau tiba-tiba ada
kebutuhan darurat, apa yang bisa dia lakuin? Ya utang lagi gitu. Ini juga
terjadi karena minimnya literasi keuangan di Indonesia.
Survei Otoritas Jasa Keuangan atau OJK tahun 2022 menunjukkan kalau tingkat literasi keuangan masyarakat kita baru sekitar 49%. Artinya, hampir setengah penduduk Indonesia nggak ngerti cara mengelola uang mereka, jadi nggak heran, banyak yang merasa enggak masalah buat ngutang atau nyicil barang yang sebenarnya nggak penting. Tapi dibalik itu, ada tekanan sosial yang bikin orang merasa harus punya iphone biar setara dengan orang lain. Ini menciptakan ilusi prioritas dan mereka mikir kalau punya iphoneadalah langkah maju padahal kenyataannya mereka justru mundur secara finansial.
Bagian 6 | Kualitas VS Gengsi
Kalau kita memang jujur secara
teknis iphone bukan selalu yang terbaik. Ada banyak HP Android flagshin yang
punya fitur lebih unggul dengan harga yang lebih murah, tapi kenapa orang tetap
milih iphone? Jawabanya cuma satu yaitu gengsi. Ambil contoh perbandingan
kamera. Misalnyanya iphone terbaru puny kamera 48 megapixel, tapi ada HP
Android di harga separuhnya dengan kamera 108 megapixel. Dari segi spek, jelas
Android lebih unggul, tapi orang tetep lebih bangga pamer foto dari iphone
meskipun hasilnya enggak jauh beda gitu. Kenapa ini bisa terjadi? Karena dikepala
orang kualitas seringkali enggak lebih penting dari persepsi misalnya,
ibaratnya kamu beli tas BNET yang harganya puluhan juta padahal tas itu
fungsinya sama aja kayak tas biasa. Tapi yang kamu bayar sebenarnya itu adalah
merek, bukan kualitas.
Fenomena ini mencerminkan budaya
konsumsi yang salah kaprah di masyarakat kita. Orang lebih peduli sama apa yang
dilihat orang lain daripada apa yang benar-benar mereka butuhin. Dan ini lagi-lagi
memperburuk keadaan kelas menengah ke bawah karena mereka ngorbanin kebutuhan
pokok cuma buat ngejar barang yang sebenarnya ga signifikan.
Bagian 7 | Efek Media Sosial
Media sosial itu kayak pedang bermata dua. Di
satu sisi dia bikin kita lebih terkoneksi tapi di sisi lain dia juga jadi mesin
pencipta obsesi konsumtif. Dan salah satu barang yang paling sering dipamerin
di media sosial adalah iphone. Kalian perhatiin enggak tiap kali ada iphone
baru rilis langsung ramai video unboxing di Instagram, youtube dan tiktok,
influencer, seleb, dan bahkan temen-temen lu sendiri ikut pamer. Mereka
nunjukin betapa kerennya desain baru iphone.
Betapa canggihnya kameranya dan
betapa berkelasnya mereka yang udah punya ini bikin orang yang nonton merasa
terprovokasi. Mereka mikir kalau dia bisa punya ya kenapa gue nggak gitu. Efek
ini jauh lebih kuat di kelas mene ke bawah yang udah terbiasa ngeliat media
sosial sebagai patokan gaya hidup. Mereka merasa kalau mereka enggak ikut tren,
mereka bakal ketinggalan. Tapi kalian harus paham apa yang melihat di media
sosial itu seringkali cuma ilusi. Banyak influence yang dapat iphone gratis
dari sponsor atau bahkan minjem cuma buat konten, tapi buat orang yang biasa. Mereka
harus bayar pakai uang beneran yang kadang mereka enggak punya gitu.
Bagian 8 | Kontradiksi Kelas Sosial
Ada ironi besar dibalik fenomena
ini, kelas menengah ke bawah adalah kelompok yang paling tertekan secara
finansial. Tapi mereka juga paling sering jadi kelompok yang paling tertekan
secara finansial. Tapi mereka juga paling sering ja korban obsesi konsumtif.
Kenapa ini bisa terjadi? Salah satunya adalah karena ketidakstabilan ekonomi
mereka. Orang yang berada di kelas ekonomi bawah seringkali merasa insecu
dengan posisinya mereka piin naik kelas. Dan salah satu cara tercepat buat
terlihat sukses adalah dengan beli barang mahal kayak iphone. Tapi ingin
menciptakan kontradiksi, alih alih memperbaiki kondisi mereka. Mereka justru
makin terpuruk, hutang nambah, tabungan habis dan kebutuhan penting lainnya
diabaikan. Obesesi ini jadi kayakya lingkaran setan yang susah mereka keluarin.
Penutup
Dari semua yang udah kita bahas, jelas
banget kalau obsesi sama iphone di kalangan ke sembilan ke bawah lebih banyak
ruginya daripada manfaatnya. Ini bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal
budaya, psikologi, dan ekonomi yang salingberkaitan.
Pertanyaannya, apa yang bisa kita
lakuin? Yang pertama mungkin sadar diri kamu harus bisa bedain mana kebutuhan
dan mana keinginan. Jangan sampai kalian jadi korban tren yang sebenarnya
enggak ada manfaatnya buat hidupmu. Yang kedua edukasi. Kita perlu ngajarin
masyarakat soal pentingnya literasi keuangan. Kalau enggak ada perubahan,
bicara orang mengelola uang mereka, fenomen ini bakal terus berulang.
Dan yang terakhir mulai dari
diri sendiri, kalau ada di posisi ini, tanya ke diri kamu sendiri, apa bener-bener
butuh iphone atau cuma pengen pamer gitu? Jawabanmu bahkan nentuin gimana masa
depan finansial kalian.